Selasa, 18 Desember 2012

Beragama dalam Surat Al-Ma’un




السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَنْعَمَنَا بِنِعْمَةِ اْلإِيْمَانِ وَاْلإِسْلاَمِ. وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ

Di antara surat yang agung kedudukannya yang sering terdengar pada pendengaran kita, dan membutuhkan perenungan dan tadabbur adalah surat Al-Ma’un. Allah SWT berfirman:

Artinya:  (1) Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
   (2) Itulah orang yang menghardik anak yatim.
   (3) dan tidak menganjurkan memberi makan fakir miskin
   (4) maka celakalah bagi orang yang sholat
   (5) (yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya,
   (6) orang yang berbuat riya,
   (7) dan enggan (menolong dengan) barang yang berguna.


Surah ini diawali dengan kalimat tanya untuk menarik perhatian pembacaanya. Kemudian Allah  SWT sendiri yang menjawab pertanyaan tersebut satu per satu. Tujuanya ialah agar pembaca benar-benar memperhatiakn dan meresapi makna yang terkandung di dalamnya. Biasanya setiap ayat yang didahului dengan pertanyaan mengandung nilai yang sangat penting untuk segera dipahami dan diamalkan. Pertanyaan yang paling prinsipil ialah “siapakah pendusta agama?“1 maka jawabanya segera disusul setelah pertanyaanya.
Beragama dalam surah Al-Ma’un tidak selau identik dengan kesalehan dan ketakwaan.  Beragama dan melakukan ritual-ritual agama tidak selalu menjadikan seseorang bisa dipercaya dan membawa amanah.  Wacana besar yang dibawa surah ini adalah membalik semua itu dengan mengatakan bahwa kalangan orang beragama itu “ada pendusta agama”.  Orang yang haji dan shalatnya rajinpun bisa jadi adalah pendusta agama.
Surah Al-Ma’un ini juga membawa pesan: betapa pentingnya keterlibatan sosial dan pembelaan sosial kepada masyarakat miskin, minoritas, dan pentingya membela ketidakadilan. Jelas sekali bahwa surat ini memberikan petunjuk bahwa kesalehan ritual tidak menjadi bermakna tanpa kesalehan sosial. Paling tidak menyatakan tiga hal yang patut disimak dalam surat ini.
1.      Ayat tersebut tidak berbicara tentang kewajiban ”memberi makan” orang miskin, tapi berbicara ”menganjurkan memberi makan3. Itu berarti mereka yang tidak memiliki kelebihan apapun dituntut pula untuk berperan sebagai ”penganjur pemberi makanan terhadap orang miskin” atau dengan kata lain, kalau tidak mampu secara langsung, minimal kita menganjurkan orang-orang yang mampu untuk memperhatikan nasib mereka. Peran ini sebenarnya bisa dilakukan oleh siapapun, selama mereka bisa merasakan penderitaan orang lain. Ini berarti pula mengundang setiap orang untuk ikut merasakan penderitaan dan kebutuhan orang lain, walaupun dia sendiri tidak mampu mengulurkan bantuan materiil kepada mereka.
            Anak-anak yatim dan faqir miskin adalah bagian dari kelompok masyarakat yang sangat dicintai oleh Rusulullah SAW, bahkan dalam sebuah hadits dinyatakan ( Rusuluallah ) sangat dekat dengan mereka. Perhatian mereka sangat diutamakan, sebagaimana tersebut dalam sebuah ayat:
  
“Tentang dunia dan akhirat. dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang Mengadakan perbaikan. dan Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah: 220).

2.      Sholat adalah ibadah yang paling utama yang diperintahkan dalam syareat Islam. Dengan melaksanakanya secara baik dan benar akan menimbulkan pengaruh positif yang sangat besar dalam aspek kehidupan. Di akhirat pun merupakan amaliah yang paling utama yang memperoleh penilaian dan menjadi tolak ukur semua amal perbuatan. Allah berfirman:

“Dan dirikanlah sholat.sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan –perbuatan keji dan mungkar. (al-ankabut: 45)
Dan ulama yang lain berkata: Mereka meninggalkan shalat dan tidak pula menunaikannya. Penafsiran ini datang dari Ibnu Abbas. Dan ada yang berkata: Mereka adalah orang-orang munafiq yang meninggalkan shalat secara rahasia dan menjalankannya secara terang-terangan saja.
Yang diterjemahkan dengan "lalai" atau "lupa" dalam firman itu ialah kata-kata yang dalam bahasa aslinya (Arab) "sahun".5 Yang dimaksud dalam firman ini bukanlah mereka itu dikutuk Allah karena lupa mengerjakan shalat yang disebabkan lupa, misalnya, terlalu sibuk bekerja. Sebab lupa dan alpa serupa itu justru dimaafkan oleh Allah, tidak dikutuk. Tapi yang dimaksud dalam firman itu ialah mereka yang menjalankan shalat itu lupa akan shalat mereka sendiri, dalam arti bahwa shalat mereka tidak mempunyai pengarah apa-apa kepada pendidikan akhlaknya, sehingga mereka yang menjalankan shalat itu dengan mereka yang tidak menjalankannya sama saja. Apalagi jika lebih buruk! 
3.      Selanjutya Allah menegaskan bahwa ada sebagian orang yang melakukan amal kebaikan, termasuk shalat, untuk memperlihatkan amalnya kepada manusia. Tindakan seperti ini disebut riya’. Sikap riya’ adalah lawan dari ikhlas. Keikhlasan diperlukan dalam setiap amal kebaikan agar memperoleh pahala yang sempurna dari Allah.
orang-orang yang berbuat ria. dan enggan (menolong dengan) barang berguna”.6-7 Artinya mereka tidak berbuat ihsan dalam beribadah kepada Tuhan mereka dengan mewujudkan keikhlaskan dalam beribadah kepada Allah SWT, dan tidak pula berbuat ihsan kepada makhluk -Nya walaupun dengan memberikan pinjaman barang yang bisa dimanfaatkan, dan bisa digunakan untuk keperluan tertentu padahal wujud barang tersebut tetap serta akan dikemblikan kepada mereka selaku pemilik, seperti meminjam bejana, ember dan parang. Maka orang yang bertipe seperti ini akan lebih gampang dalam meninggalkan zakat dan ibadah lainnya. *Hy

0 komentar:

Posting Komentar