Selasa, 30 November 2010

Journey-listik :) ala Gue


1 desember 2010.. ^_^ 


Suatu saat, gue pernah ditanya sama dosen. “Kenapa kamu pilih fakultas dakwah, KPI (komunikasih penyiaran Islam) Jurnalistik?” atau pertanyaan lain dari temen-temen gue, “Apa sih enaknya klo jadi wartawan?”
Gue cuman melambaikan senyum simpul.
Orang yang nggak tahu apa itu Komunikasi, mungkin mengiranya belajar komunikasi ya belajar ngomong. Mungkin sebagian besar dari mereka tahunya di Fakultas Dakwah, Komunikasi IAIN cuman bisa ceramah aja. Padahal, di dakwah Prodi komunikasi kami memiliki banyak bahasan dan ngak kalah seru, bukan hanya segudang pelajaran agama aja untuk jadi Da’i, tafsir, ngapal hadis etc...pelajaran umum nya pun kita pelajari, dari psikologi, sosiologi, mantik, budaya, antropologi, bhs.Inggris, bakal mempelajari juga disemester berikut nya kewirausahawan, ilmu komunikasi, publis relation, shouting, fotografi, radio televisi, film, teknik pidato, feature, statistik sosial, editing, ada periklanan, komunikasi media (Komed), penyiaran (IKP) dan jurnalistik  n’ etcccccc... :D
Dan setelah kita pada lulus, kita bakal punya kemampuan yang bersaing, dan perlu digaris bawahin bukan hanya bisa jadi Da’i or bekerja sebagai wartawan aja tapi kita bisa bekerja di pertelevisian, radio, atau buat stasiun Tv or radio juga bisa, penjabat yang berakhlak, kantor intasi pemerintah lainnya jadi sensus dan lain-lain yang penting bisa melobi diri sendiri dengan keahlian yang telah ada.
Tiap teman kelas, gue akui semua warga memiliki ciri atau karakter yang berbeda-beda. Kalo dari mata gue, pendapat gue, (iyalah secara ini tulisan gue gitu, gue bebas ngomong apa aja ;D).
Anak dari komunikasi gue, tu orangnya encer-encer, memiliki kualitas analisa yang tinggi, dan kesannya ‘berat’ gitu. Anak-anaknya bawel semua tapi kocak, ngak bikin borring dalam kelas, cewek-cewek nya kebanyakan suka nonton film korea :D,
Di sini gue bakal belajar banyak hal dari mulai menulis-meliput berita, tata bahasa jurnalistik yang baik, menulis naskah berita TV, jurnalisme foto, sampai mata kuliah paling ‘dewa’ bernama etika jurnalisme. Kebanyakan pengajar kami adalah professor atau Dr or Drs yang memiliki jabatan strategis Ilmu Komunikasi dan memiliki peran penting dalam dunia jurnalistik tanah air. dan untuk itulah anak jurnal nggak bisa diremehin begitu saja. Hehehe :D
Emang sih, dari semua mahasiswa di IAIN, kesannya yang muncul adalah orangnya cuek sama penampilan. Sekali lagi gue katakan Itulah orang yang belum mengenal betul sama anak IAIN, apalagi fakultas dakwah, komunikasi. Karena walaupun terkesan cuek penampilan anak IAIN tetep keren kok karena kan emang dari dasarnya udah pada cantik dan cakep-cakep... apalagi dibekali pengetahuan agama, agar kelak tidak hanya baik fisik tapi juga baik akhlaknya. ^_^
Gue pribadi sih nggak pusing mikirin penampilan. Yang penting adalah ketika kami kuliah, kami nggak BB-an di dalam kelas, dan nggak sibuk benerin tata rambut atau make up (haha.. namanya juga IAIN). Kami belajar. Otak adalah segala-galanya, benar begitu bukan?
Baru dari sini, gue bisa bilang kalo masuk IAIN fakultas Dakwah, Ilmu Komunikasi, prodi Jurnalisme, adalah sebuah panggilan. Bukan karena ikut-ikutan teman. Itulah alasannya…
Cukup puaskah? Cukup menjawab pertanyaankah? Hahaha ~,<
Thanks for reading, anyway!

Minggu, 28 November 2010

Metafora Batang Akasia


Akhirnya hikayat ini berkesudahan. Di saat Aku malu memijakkan diri di tanah negeri berdosa ini. Tak tahan aku menahan isak tangis getah rantingku yang mulai menunduk. Tiba-tiba angin dan petir membantuku untuk menyudahi derita ini. Dengan cara mereka, aku telah terbaring kaku di pundak surau yang kini berderai di tengah malam mencengkam, musnah.
***
Ujung waktu lalu telah mengikis semua nostalgia. Itulah yang kupadukan dalam tradisi orang-orang dahulu dengan derasnya kekinian. Berharap dikurniakan srikandi, namun nasib tak menyebelahi. Akhirnya aku mengusik kembali percikan air mataku yang membeku, pilu.
Kata orang, aku sungguh makhluk tak berdaya. Umpama benalu tua yang tak berharga hingga membawa derita si empunya. Berkali-kali kuceritakan epilog masa senjaku kepada semua makhluk yang sempat bertemu ramah di tahun-tahun yang lalu. Mereka bisa menelan semua yang telah kututurkan panjang lebar di hadapan tamu-tamu agung itu. Kata mereka, nostalgia silamku sangatlah berkesan dalam ingatannya. Mereka bawa cerita itu untuk mereka dendangkan kepada anak cucu mereka.
Masa itu aku masih belia, tegak berdiri menghadap angkasa, darah muda masih mengalir harmoni di setiap celah pikiranku, itulah aku. Mungkin ada suatu saat, manusia tua enggan menyapa ketika mereka melintas di sisiku.Namun, manusia muda, anak-anak, mereka sangat akrab denganku. Mereka tertawa disampingku tanpa menghiraukan keluh kesah batang tubuhku. Mereka selalu membelai-belaiku ketika mereka asyik terbawa arus bermain bersama teman. Aku turut me-rasakan tempias dari keceriaan mereka. Walau tak jauh dariku ada sebuah kuburan tua yang telah ditata rapi oleh penduduk setempat, keramat. Namun surau kecil di hadapankulah yang terus meneduhkan di saat hatiku galau merenung nasib di pangkuan alam.
Tiap senja surau itu mulai ramai dengan jejak langkah anak-anak yang hendak mengaji bersama seorang ustad yang umurnya sudah lumayan tua. Aku sangat hafal wajah anak-anak yang selalu mengaji di surau tua itu. Tak tertinggal juga orang-orang tua yang tertatih-tatih mengejar pintu surau. Jerih payah mereka bermain syahdu bersama semilir angin surga yang menghembus helaian daun-daunku. Suasana masa itu sangat menimbulkan nuansa estetika yang luar biasa. Apa lagi dengan tekad kalangan muda yang tiap malamnya mereka mengaji dan mengkaji ilmu-ilmu agama, seakan mengalirkan kejernihan lautan ilmu yang telah lama ternoda.
Berbeda dengan siang, surau itu sepi tak bernyawa. Tak ada lagi jejak langkah yang tertatih-tatih seperti di malam hari. Tak terdengar juga suara parau anak-anak kecil yang sibuk dengan bacaan Qur’annya. Biasanya gemerisik air wudhu yang mengalir dari wajah-wajah cerah para pemuda kian terdengar. Namun, saat matahari muncul di permukaan tak lagi terdengar alunan suara itu. Jadi setiap siang aku hanya mendengar carut-marut kecil yang sayup di bawa hembusan angin. Entah dari mana asalnya aku pun tak sempat mencari tahu.
Malam. Sesuatu yang sangat kunanti-nantikan kehadirannya. Aroma nafas alam dari seluruh pori-pori batangku mengubah suasana sekitar surau sedikit berubah. Serentak dengan hembusan nafas wanita-wanita tua yang sibuk berzikir dengan genggaman biji-biji tasbih yang sudah mulai usang. Anak-anak belajar mengaji masih menggunakan Al-Qur’an yang sudah menguning kertasnya. Tapi semangat mereka tidak pudar. Waktu malam mereka diluangkan untuk menuntut ilmu di surau tak bernama ini.
Mengingat malam adalah mengingat desah nafas manusia yang sibuk dengan bacaan Al-Qur’annya. Jiwaku terduduk memaku menatap gerak-gerik manusia yang melaksanakan sholat setiap malam tiba. Aku pun senantiasa bertasbih memuji kebesaran Allah. Aku sempat mendo’akan mereka semua agar do’a-do’a yang telah mereka munajatkan bisa dikabulkan oleh Allah. Jiwaku telah ternodai aroma surga.
***
Aku heran. Setelah beberapa tahun beranjak dari setiap waktu, surau kami mulai tak berpenghuni. Hanya tinggal beberapa tungkah manusia saja yang terkadang sempat memijakkan kaki di surau ini. tubuhku sudah mulai usang dan condong ke arah mushala tua itu. Aku dapat melihat suasana sepi dari celah-celah jendela yang sudah lama tidak dibuka.
Setelah sepuluh tahun berganti, semuanya berubah. Tak ada lagi jejak langkah orang tua, jeritan anak-anak membaca Al-Qur’an, gemerisik air wudhu yang berirama dari arah surau. Tak terduga sudah banyak orang-orang tak dikenal telah mendirikan bangunan-bangunan besar di sekitar rumah ibadah ini. Suara adzan telah berganti dengan bisingnya suara-suara mesin yang iramanya tak tentu nadanya. Akar-akarku sudah mulai rapuh dimakan usia. Mungkin dalam hitungan detik saja ragaku ini akansegera musnah dijilat bau-bau limbah pabrik setempat..Tak seperti malam yang dulu, anak-anak kini sibuk dengan barang-barang elektronik yang ada di rumahnya. Mereka tak menempuh lagi surau tua kami ini. Al-Qur’an pun tak ada lagi disentuh oleh mereka. Semua terbuai dengan lezatnya dunia modern. Mereka telah dihadapkan televisi, game, internet, bahkan semua yang bernuansa agama telah mereka ghaibkan dari kehidupannya. Tak ada lagi yang mau mengkaji ilmu-ilmu agama, tapi mereka lebih mengutamakan belajar ilmu dunia yang tak tentu dalilnya. Atau mungkin seperti ini yang dikatakan pendidikan Islam modern. Kurasa tidak. Entahlah.
“Besok surau tua ini kita singkirkan aja, bos. Biar kita dirikan gudang besar yang akan menyimpan semua hasil dagang kita. Gimana, bos?” ucap seorang pemuda berkaca mata hitam. Tak pernah kulihat mereka ke sini sebelumnya. Entah kenapa, ada amarah yang meluap-luap dari celah dahanku. Rasa tidak terima akan hal itu sangat membalut di seluruh sanubari.
Dalam pertempuran hati itu, aku sempat termenung memikirkan derita ini. Bisik-bisik hati membuatku hendak memberontak untuk membela surau tak berpenghuni. Entah siapa lagi yang sanggup mendengarkan keluh kesahku, aku sendiri. Ruang surau sudah mulai diselimuti debu. Kaca telah memudar oleh bintik-bintik hujan yang mengering. Berandanya telah penuh dengan helaian daun tuaku. Tak ada lagi yang mau peduli atas surau usang ini.Esok telah tiba, tak ada juga sosok yang kunanti-nantikan. Nampaknya tubuhku akan segera dilumpuhkan dari bumi. Manusia angkuh itu datang lagi dengan menggenggam secarik parang yang siap menebas mangsanya, yaitu aku. Ia mendekatiku membuat aku berkeringat dan menggigil. Aku berusaha untuk menghindar dari cengkraman tangannya. Tiba-tiba angin membantuku, dahanku diterpanya hingga mengena kepala si manusia tadi. Aku tertawa kecil dalam ketakutan ini. Tampaknya pemuda itu kesakitan dan rambut ikalnya dinodai oleh darah. Ia segera meninggalkanku dalam kesendirian.
***
Nampaknya harapan itu masih tidak ada. Hingga kini dan kini memang tidak ada. Surau itu tidak lagi dikenang oleh siapa saja kecuali aku yang tiap hembusan nafas meneduhkan dirinya. Beranda surau penuh sesak akan carut-marut daun keringku yang tiap harinya hinggap di sana. Mereka berkeluh kesah melihat tidak ada lagi warna Islam yang hadir pada surau dan negeri itu.***



Akhirnya hikayat ini berkesudahan. Di saat Aku malu memijakkan diri di tanah negeri berdosa ini. Tak tahan aku menahan isak tangis getah rantingku yang mulai menunduk. Tiba-tiba angin dan petir membantuku untuk menyudahi derita ini. Dengan cara mereka, aku telah terbaring kaku di pundak surau yang kini berderai di tengah malam mencengkam, musnah.
***
Ujung waktu lalu telah mengikis semua nostalgia. Itulah yang kupadukan dalam tradisi orang-orang dahulu dengan derasnya kekinian. Berharap dikurniakan srikandi, namun nasib tak menyebelahi. Akhirnya aku mengusik kembali percikan air mataku yang membeku, pilu.
Kata orang, aku sungguh makhluk tak berdaya. Umpama benalu tua yang tak berharga hingga membawa derita si empunya. Berkali-kali kuceritakan epilog masa senjaku kepada semua makhluk yang sempat bertemu ramah di tahun-tahun yang lalu. Mereka bisa menelan semua yang telah kututurkan panjang lebar di hadapan tamu-tamu agung itu. Kata mereka, nostalgia silamku sangatlah berkesan dalam ingatannya. Mereka bawa cerita itu untuk mereka dendangkan kepada anak cucu mereka.
Masa itu aku masih belia, tegak berdiri menghadap angkasa, darah muda masih mengalir harmoni di setiap celah pikiranku, itulah aku. Mungkin ada suatu saat, manusia tua enggan menyapa ketika mereka melintas di sisiku.Namun, manusia muda, anak-anak, mereka sangat akrab denganku. Mereka tertawa disampingku tanpa menghiraukan keluh kesah batang tubuhku. Mereka selalu membelai-belaiku ketika mereka asyik terbawa arus bermain bersama teman. Aku turut me-rasakan tempias dari keceriaan mereka. Walau tak jauh dariku ada sebuah kuburan tua yang telah ditata rapi oleh penduduk setempat, keramat. Namun surau kecil di hadapankulah yang terus meneduhkan di saat hatiku galau merenung nasib di pangkuan alam.
Tiap senja surau itu mulai ramai dengan jejak langkah anak-anak yang hendak mengaji bersama seorang ustad yang umurnya sudah lumayan tua. Aku sangat hafal wajah anak-anak yang selalu mengaji di surau tua itu. Tak tertinggal juga orang-orang tua yang tertatih-tatih mengejar pintu surau. Jerih payah mereka bermain syahdu bersama semilir angin surga yang menghembus helaian daun-daunku. Suasana masa itu sangat menimbulkan nuansa estetika yang luar biasa. Apa lagi dengan tekad kalangan muda yang tiap malamnya mereka mengaji dan mengkaji ilmu-ilmu agama, seakan mengalirkan kejernihan lautan ilmu yang telah lama ternoda.
Berbeda dengan siang, surau itu sepi tak bernyawa. Tak ada lagi jejak langkah yang tertatih-tatih seperti di malam hari. Tak terdengar juga suara parau anak-anak kecil yang sibuk dengan bacaan Qur’annya. Biasanya gemerisik air wudhu yang mengalir dari wajah-wajah cerah para pemuda kian terdengar. Namun, saat matahari muncul di permukaan tak lagi terdengar alunan suara itu. Jadi setiap siang aku hanya mendengar carut-marut kecil yang sayup di bawa hembusan angin. Entah dari mana asalnya aku pun tak sempat mencari tahu.
Malam. Sesuatu yang sangat kunanti-nantikan kehadirannya. Aroma nafas alam dari seluruh pori-pori batangku mengubah suasana sekitar surau sedikit berubah. Serentak dengan hembusan nafas wanita-wanita tua yang sibuk berzikir dengan genggaman biji-biji tasbih yang sudah mulai usang. Anak-anak belajar mengaji masih menggunakan Al-Qur’an yang sudah menguning kertasnya. Tapi semangat mereka tidak pudar. Waktu malam mereka diluangkan untuk menuntut ilmu di surau tak bernama ini.
Mengingat malam adalah mengingat desah nafas manusia yang sibuk dengan bacaan Al-Qur’annya. Jiwaku terduduk memaku menatap gerak-gerik manusia yang melaksanakan sholat setiap malam tiba. Aku pun senantiasa bertasbih memuji kebesaran Allah. Aku sempat mendo’akan mereka semua agar do’a-do’a yang telah mereka munajatkan bisa dikabulkan oleh Allah. Jiwaku telah ternodai aroma surga.
***
Aku heran. Setelah beberapa tahun beranjak dari setiap waktu, surau kami mulai tak berpenghuni. Hanya tinggal beberapa tungkah manusia saja yang terkadang sempat memijakkan kaki di surau ini. tubuhku sudah mulai usang dan condong ke arah mushala tua itu. Aku dapat melihat suasana sepi dari celah-celah jendela yang sudah lama tidak dibuka.
Setelah sepuluh tahun berganti, semuanya berubah. Tak ada lagi jejak langkah orang tua, jeritan anak-anak membaca Al-Qur’an, gemerisik air wudhu yang berirama dari arah surau. Tak terduga sudah banyak orang-orang tak dikenal telah mendirikan bangunan-bangunan besar di sekitar rumah ibadah ini. Suara adzan telah berganti dengan bisingnya suara-suara mesin yang iramanya tak tentu nadanya. Akar-akarku sudah mulai rapuh dimakan usia. Mungkin dalam hitungan detik saja ragaku ini akansegera musnah dijilat bau-bau limbah pabrik setempat..Tak seperti malam yang dulu, anak-anak kini sibuk dengan barang-barang elektronik yang ada di rumahnya. Mereka tak menempuh lagi surau tua kami ini. Al-Qur’an pun tak ada lagi disentuh oleh mereka. Semua terbuai dengan lezatnya dunia modern. Mereka telah dihadapkan televisi, game, internet, bahkan semua yang bernuansa agama telah mereka ghaibkan dari kehidupannya. Tak ada lagi yang mau mengkaji ilmu-ilmu agama, tapi mereka lebih mengutamakan belajar ilmu dunia yang tak tentu dalilnya. Atau mungkin seperti ini yang dikatakan pendidikan Islam modern. Kurasa tidak. Entahlah.
“Besok surau tua ini kita singkirkan aja, bos. Biar kita dirikan gudang besar yang akan menyimpan semua hasil dagang kita. Gimana, bos?” ucap seorang pemuda berkaca mata hitam. Tak pernah kulihat mereka ke sini sebelumnya. Entah kenapa, ada amarah yang meluap-luap dari celah dahanku. Rasa tidak terima akan hal itu sangat membalut di seluruh sanubari.
Dalam pertempuran hati itu, aku sempat termenung memikirkan derita ini. Bisik-bisik hati membuatku hendak memberontak untuk membela surau tak berpenghuni. Entah siapa lagi yang sanggup mendengarkan keluh kesahku, aku sendiri. Ruang surau sudah mulai diselimuti debu. Kaca telah memudar oleh bintik-bintik hujan yang mengering. Berandanya telah penuh dengan helaian daun tuaku. Tak ada lagi yang mau peduli atas surau usang ini.Esok telah tiba, tak ada juga sosok yang kunanti-nantikan. Nampaknya tubuhku akan segera dilumpuhkan dari bumi. Manusia angkuh itu datang lagi dengan menggenggam secarik parang yang siap menebas mangsanya, yaitu aku. Ia mendekatiku membuat aku berkeringat dan menggigil. Aku berusaha untuk menghindar dari cengkraman tangannya. Tiba-tiba angin membantuku, dahanku diterpanya hingga mengena kepala si manusia tadi. Aku tertawa kecil dalam ketakutan ini. Tampaknya pemuda itu kesakitan dan rambut ikalnya dinodai oleh darah. Ia segera meninggalkanku dalam kesendirian.
***
Nampaknya harapan itu masih tidak ada. Hingga kini dan kini memang tidak ada. Surau itu tidak lagi dikenang oleh siapa saja kecuali aku yang tiap hembusan nafas meneduhkan dirinya. Beranda surau penuh sesak akan carut-marut daun keringku yang tiap harinya hinggap di sana. Mereka berkeluh kesah melihat tidak ada lagi warna Islam yang hadir pada surau dan negeri itu.***