Rabu, 28 Desember 2011

Sosiologi Modernisasi Dalam Pembangunan Masyarakat


Monpera
A.     Pendahuluan
Mengikuti perkembangan dunia secara global peran serta setiap ilmu untuk turut andil dalam pembanguan kualitas sumber daya masyarakat secara keseluruhan haruslah lebih mengarah kepada suatu perubahan yang lebih baik dan berdasarkan fakta-fakta sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Peranan ilmu sosiologi dalam pembangunan kualitas sumber daya masyarakat tentunya sangat penting
dilihat dari segi pengertian dari sosiologi itu sendiri. dimana fakta-fakta sosial dapat dikumpulkan dengan pemahaman dan juga menguasai ilmu-ilmu pada cabang ilmu sosial. Adapun suatu pengertian dasar dari ilmu tersebut.
Untuk itu untuk pembangunanan kualitas sumber daya munculnya teori sosiologi modern. Modernisasi merupakan sebuah isu dalam rangka pencapaian proses pembangunan pasca berakhirnya perang dunia (PD II), yang melibatkan beberapa ilmuan sosial barat sebagai sebuah tantangan untuk memiliki model pembangunan dan memperbaiki pertumbuhan ekonomi.
Sepertinya Modernisasi menjadi rujukan utama oleh negara dunia ketiga dan dianggap sebagai satu-satunya jalan menuju kesejahteraan seperti yang telah dialami oleh negara dunia kedua. Untuk itu apakah benar-benar cocok sosiologi modernisasi dapat dipakai oleh negara Indonesia dalam pelaksanaan pembangunannya.

B.    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, adalah sebagai berikut:
1.     Apakah definisi pembangunan dan sosiologi pembangunan?
2.     Jelaskan bagaimana kelahiran dari sosiologi medern?
3.     Bagaimana penerapan konsep modernisasi dalam pembangunan dunia ketiga?
4.     Bagaimana penerapan sosiologi modernisasi dalam pembangunan NKRI?


SOSIOLOGI MODERNISASI DALAM
PEMBANGUNAN MASYARAKAT

A.     Defenisi Pembangunan dan Sosiologi Pembangunan
Istilah pembangunan telah banyak digunakan oleh banyak orang. Bagi sebagian orang pembangunan berkonotasi pada sebuah proses perubahan ekonomi yang dibawa oleh proses Industrialisasi. Istilah ini juga dapat diartikan sebagia proses perubahan sosial yang dihasilkan dari urbanisasi, adopsi gaya hidup modern, dan perilaku masa kini. Jadi istilah istilah ini juga memiliki konotasi kesejahteraan yang menawarkan bahwa pembangunan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan level pendidikan mereka, memperbaiki kondisi pemukiman dan kesehatan mereka. (James Madgley).
Menurut Easton (Miriam Budiardjo,1985) proses sistematik paling tidak terdiri atas tiga unsur. Pertama adanya input yaitu bahan masukkan konversi, kedua adanya proses konversi yaitu wahana untuk mengolah, ketiga adanya output yaitu sebagai hasil dari proses konversi yang dilaksanakan. Proses pembangunan sebagai proses sistematik pada akhirnya akan menghasilkan keluaran (output) pembangunan, kualitas pembangunan tergantung pada kualitas input kualitas dari pembangunan yang dilaksanakan, serta seberapa besar pengaruh terhadap lingkungan dan faktor-faktor alam lainnya. Bahan masukkan pembangunan, salah satunya adalah sumber daya manusia, yang dalam konkrtinya adalah manusia. Manusia dalam proses ini mengandung  beberapa pengertian yaitu manusia sebagai pelaksaan pembangunan, manusia sebagi perencana pembangunan dan manusia sebagai sasaran pembangunan.
Pembangunan juga dapat diartikan sebagai suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk me­menuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004).
Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan per­ubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building)”. Sedangkan Ginanjar Kartasas­mita (1994) memberikan pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana”.
Pengertian pembangunan dalam sosiologi adalah cara menggerakkan masyarakat untuk mendukung pembangunan dan masyarakat adalah sebagai tenaga pembangunan, dan dampak pembangunan.[1] Menurut Soerjono Soekanto, pengetahuan sosiologi dapat diterapkan dan berguna untuk kehidupan sehari-hari, misalnya untuk memberikan data-data sosial yang diperlukan pada tahapan perencanaan, pencaharian, penerapan dan penilaian proses pembangunan.
Pada tahap perencanaan hasil penelitian sosiologi dapat digunakan sebagai bahan pada tahap evaluasi. Pada tahap penerapan, perlu diadakan identifikasi terhadap kekuatan sosial yang ada di dalam masyarakat. Dengan mengetahui kekuatan sosial tersebut dapat diketahui unsur-unsur yang dapat melancarkan pembangunan dan yang menghalangi pembangunan. Pembangunan merupakan bentuk perubahan sosial yang terarah dan terncana melalui berbagai macam kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat.
Pada masa sekarang ini, konsep pembangunan sudah merupakan suatu ideologi yang menggambarkan kegiatan-kegiatan dalam upaya mengejar pertumbuhan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam pembangunan sangat berhubungan dengan soiologi pembangunan. Dalam suatu proses pembangunan perlu adanya kemauan keras serta kemampuan untuk memanfaatkan potensi-potensi yang tersedia dalam masyarakat untuk keperluan pembangunan.[2] Berbagai perencanaan perlu disusun dan digelar dalam rangka menghimpun kekuatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam usaha mencapai tingkat kesejahteraan lebih tinggi.

B.    Kelahiran Sosiologi Modern
Sosiologi modern tumbuh pesat di benua Amerika, tepatnya di Amerika Serikat dan Kanada. Pada permulaan abad ke-20, gelombang besar imigran berdatangan ke Amerika Utara.[3] Gejala itu berakibat pesatnya pertumbuhan penduduk, munculnya kota-kota industri baru, bertambahnya kriminalitas dan lain lain. Konsekuensi akibat gejolak sosial itu yakni perubahan besar masyarakat pun tak terelakkan.
Perubahan masyarakat itu menggugah para ilmuwan sosial untuk berpikir keras, untuk sampai pada kesadaran bahwa pendekatan sosiologi lama ala Eropa tidak relevan lagi. Mereka berupaya menemukan pendekatan baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Maka lahirlah sosiologi modern.[4]
Pendekatan sosiologi modern cenderung mikro (lebih sering disebut pendekatan empiris). Artinya, perubahan masyarakat dapat dipelajari mulai dari fakta sosial demi fakta sosial yang muncul. Berdasarkan fakta sosial itu dapat ditarik kesimpulan perubahan masyarakat secara menyeluruh. Sejak saat itulah disadari betapa pentingnya penelitian (research) dalam sosiologi.
Teori Modernisasi berasal dari dua teori dasar yaitu teori pendekatan psikologis dan teori pendekatan budaya.[5] Teori pendekatan psikologis menekankan bahwa pembangunan ekonomi yang gagal pada negara berkembang disebabkan oleh mentalitas masyarakatnya. Menurut teori ini, keberhasilan pambangunan mensyaratkan adanya perubahan sikap mental penduduk negara berkembang. Sedangkan teori pendekatan kebudayaan lebih melihat kegagalan pembangunan pada negara berkembang disebabkan oleh ketidaksiapan tata nilai yang ada dalam masyarakatnya. Secara garis besar teori modernisasi merupakan perpaduan antara sosiologi, psikologi dan ekonomi. Teori dasar yang menjadi landasan teori modernisasi adalah ide Durkheim dan Weber, yakni melalui teori pendekatan sosialnya, sebagai berikut;[6]
a.     Emile Durkheim memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yakni teori pendekatan budaya yang berupaya menelurusi fingsi berbagai elemen sosial sebagai pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial. Pendekatan yang dikenalkan oleh emile durkheim dapat menjadi pembatas dan menciptakan keteraturan dalam hidup bermasayarakat dengan sistem yang teratur dalam meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat.
b.     Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman) yakni teori pendekatan psikologis yang berupaya menelusri nilai, kepercayaan, tujuan dan sikap menjadi penuntun perilaku manusia. Dengan pendekatan ini jelas bahwa nilai, kepercayaan dan sikap masyarakat akan menenentukan kualitas sumber daya masyarakat maka dari itu diperlukan suatu upaya untuk membatasinya agar tetap didalam batas normal.
C.    Modernisasi dalam Pembangunan Dunia Ketiga
Modernisasi menjadi rujukan utama oleh negara dunia ketiga dan dianggap sebagai satu-satunya jalan menuju kesejahteraan seperti yang telah dialami oleh negara dunia kedua. Namun, konsep modernisasi ternyata mempunyai beberapa kelemahan apabila diterapkan di negara dunia ketiga. Perbedaan budaya merupakan salah satu faktor pembeda yang utama antara negara dunia kedua dan ketiga. Modernisasi walaupun berhasil memajukan perekonomian negara dunia kedua namun gagal mewujudkan hal yang sama pada negara dunia ketiga.
Pada sisi lain, modernisasi akan menghasilkan suatu pola perkembangan pembangunan dengan mendifusikan secara aktif segala sesuatu yang diperlukan dalam pembangunan, terutama nilai-nilai ‘modern’, teknologi, keahlian dan modal. Di dunia ketiga, pelaku yang paling aktif dalam proses modernisasi dianggap golongan elit yang berpendidikan Barat, yang tugasnya adalah melepaskan masyarakat dari tradisi dan membawa mereka ke dalam abad ke-20.
Dalam konteks ini maka modernisasi merupakan suatu pola pembangunan yang jika hal itu di terapkan oleh dunia ketiga, maka boleh jadi akan menciptakan kesejajaran antara Barat dan dunia ketiga. Pada tahapan industrilasiasi dan ekspansi modal yang merupakan bagian dari modernisasi adalah sepertinya juga merupakan salah satu faktor penyebab yang akan mentrasformasikan secara cepat ketertinggalan atau kemunduran tradisi dalam suatu komunitas pedalaman pedesaan.
Paham marxis memandang bahwa perkembangan dan keterbelakangan dilihat sebagai sisi berlawanan dari suatu proses yang sama: perkembangan pembangunan dalam satu kawasan atau wilayah itu terjadi secara cepat, dikarenakan implementasi pembangunannya dilakukan diatas biaya dan sumber daya diwilayah lain.[7] Dalam konteks ini, masyarakat berkembang dan terbelakang turut serta dalam sistem dunia yang sama, yang dimulai dari ekspansi dan penjajahan kaum kapitalis. Berdasarkan pandangan ini, keterbelakangan harus dijelaskan dengan mengacu pada posisi struktural dari masyarakat dunia ketiga dalam ekonomi global dan tidak dengan kemunduran dari rakyat atau tradisinya.
Ajaran utama dari teori keterbelakangan (underdevelopment) nampak bertentangan secara langsung dengan teori modernisasi dan menandai (paling sedikit) perubahan utama dari penekanan dalam pemikiran Marxis. Tentu saja, saya berpendapat bahwa diantara kritikus paling tajam dari teori underdevelopment adalah golongan Marx (Marxist) yang telah menganggap fokus teori underdevelopment pada hubungan eksternal berlebihan dan merugikan analisis struktur sosial dan politik dunia ketiga yang dibutuhkan. Untuk memperbaiki ketidakseimbangan ini, beberapa penganut teori telah mencoba menguji bagaimana mode produksi pra-kapitalis dunia ketiga tertentu mengartikulasikan dengan mode kapitalis dominan, ketika yang lain mencoba untuk memperbaiki konsep mereka (misalkan, dari produksi komoditas skala kecil) bahwa kedua mode sama-sama dapat diterapkan pada dunia ketiga atau Barat. Selain itu, Marxis dan non Marxis sama-sama telah mengeluarkan nilai heuristik dari faham ketergantungan, bersamaan dengan kejadian empiris yang diduga memperlihatkan pemiskinan yang berkelanjutan di dunia ketiga yang di lakukan oleh dunia Barat.[8]
Penganut teori modernisasi cenderung merasakan dunia ketiga dari sebuah posisi evolusioner dari manfaat dan superioritas negara barat. Teori underdevelopment menganggap bahwa dunia ketiga perlu melangkah maju ke arah versi yang ideal dari apa yang mungkin telah dunia barat lakukan, tanpa intervensi kejam dari kapitalisme.
Pemikiran mengenai pembangunan berhubungan dengan beberapa ide tentang kemajuan, yang melibatkan suatu perubahan, mungkin sebuah evolusi, dari satu tingkat ke tingkat lainnya. Teori modernisasi menekankan dan menyetujui kecenderungan ke arah dunia Barat, modernitas kapitalis, sebuah pandangan yang dikemukakan sampai pada taraf tertentu oleh Marxisme ortodoks, yang cenderung mengakui kapitalisme sebagai satu tahap yang diperlukan menuju sosialisme. Teori underdevelopment lebih ambivalen: teori tersebut menyangkal kapitalisme dapat membangun dunia ketiga, terutama karena kapitalisme tidak dapat mereproduksi industrialisasi otonomi yang diduga terjadi di dunia Barat. Sebagai gantinya, rantai ketergantungan harus diperpendek, hubungan eksploitatif dihancurkan dan sosialisme diperkenallkan, tidak hanya pada satu negara namun terhadap sistem dunia keseluruhan.[9]
Kemudian, apakah perbedaan antara pembangunan dan modernisasi? Pembangunan adalah sebuah perubahan menuju status yang dihargai, yang mungkin atau tidak mungkin diperoleh pada beberapa konteks sosial lain dan yang tidak mungkin terjangkau. Modernisasi merupakan suatu proses yang sama. Ia merupakan sesuatu yang terjadi secara aktual, baik atau buruk, rangkaian dari pola dengan konsekwensi yang dapat digambarkan, diargumentasikan dan dievaluasi. Jika dinilai sebagai baik atau progresif, perubahan dapat dianggap sebagai kontribusi terhadap pembangunan, namun tidak perlu dievaluasi dengan cara ini. Hampir sama dapat dikatakan bahwa kapitalisme merupakan satu contoh lagi yang lebih komprehensif dari modernitas. Meskipun perdebatan sengit atas definisi, secara umum disetujui bahwa kapitalisme melibatkan sejumlah proses sosial yang didokumentasikan dengan baik.
Sosiologi sedang mencoba untuk mengerti dunia masyarakat, hubungan antar dan dalam masyarakat dan berbagai tindakan sosial dan interaksi dimana manusia turut serta didalamnya. Apakah fokus utama mereka pada elemen mikro atau makro dari interaksi ini, sosiolog selanjutnya mencari pola yang akan membantunya menggambarkan, menjelaskan dan membuat pertimbangan tentang elemen yang membedakan dari kehidupan sosial di mana mereka dihadapkan dan dimana mereka tinggal.
Singkatnya bahwa sosiologi modernisasi dan pembangunan adalah cabang dari sosiologi yang menguji proses-proses modernisasi dan pembangunan, terutama tidak hanya di dunia ketiga, dimana mereka paling jelas dan dramatis sebagai bagian dari proyek ini, diperlukan studi struktur sosial domestik, politik dan ekonomi, sebaik hubungannya yang berkelanjutan dengan lembaga eksternal, masyarakat dan sistem. Dalam kesemuanya ini, perhatian paling khusus dari sosiologi adalah dengan hubungan sosial dan proses sosial serta konotasi ekonomi, politik dan budayanya.
Menurut Schoorl, modernisasi itu adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak. Modernisasi itu adalah sesuatu yang mutlak untuk dilakukan oleh negara-negara berkembang dan dapat dilakukan jika bersentuhan dengan negara-negara maju. Hal ini didasarkan pada bahwa modernisasi itu adalah sesuatu yang baik. Michael dove sepakat bahwa kemajuan itu harus mengacu pada dunia-dunia maju. Namun, tidak semua modernisasi itu merusak nilai-nilai tradisional, dalam beberapa hal terdapat adaptasi.
Schoorl membahas aspek sosiologi tentang modernisasi di dunia nonbarat sebagai spesialisasi baik dari antropologi budaya maupun dari sosiologi. Kedua bidang ilmu tersebut menaruh perhatian pada persoalan-persolan dunia ketiga. Salah satu yang menjadi pokok perhatian adalah gejala-gejala dan persoalan-persoalan ditingkat makro, seperti gejala urbanisasi dan masalah kependudukan. Adapun sosiologi memberi pengertian tentang masyarakat modern dan kebudayaannya sebagai perspektif dan membuka kemungkinan untuk mengadakan perbandingan ke arah mana proses-proses modernisasi berjalan.
Schoorl (1980) dalam bukunya berjudul Modernisasi : Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang membuka tulisannya dengan menyatakan bahwa modernisasi sebagai gejala umum. Semua bangsa terlibat dalam proses modernisasi. Manifestasi proses ini pertama kali nampak di Inggris pada abad ke-18 yang disebut revolusi industri. Penyebaran itu dianggap sebagai sesuatu yang begitu biasa, sehingga masyarakat dunia itu sering dibagi menjadi dua kategori : negara maju dan negara sedang berkembang, masing-masing terdiri atas negara-negara yang telah mengalami modernisasi dan negara-negara yang mengadakan modernisasi.
Lebih lanjut, Schoorl menyatakan bahwa negara sedang berkembang sebagai obyek penelitian. ia menyajikan perbedaan keadaan yang berpengaruh atas pola dan profil perkembangan di dunia ketiga dengan mengulas semua aspek dari sudut pandang negara maju atau negara barat. Hubungan antara negara sedang berkembang dengan negara maju merupakan pergaulan dunia yang membutuhkan semacam aturan mengnai relasi antar negara. Dalam pergaulan antarnegara orang bertolak dari ideal, bahwa semua negara itu sama kedudukannya dan sama haknya, tanpa mengingat besarnya dan kekayaannya. Namun terdapat ketidaksamaan yang memainkan peranan penting dalam relasi antar negara itu. Ketidaksamaan yang nyata dalam relasi tersebut dalam sosiologi dilihat sebagai perbedaan kekuatan, artinya perbedaan kemungkinan untuk mempengaruhi tingkah laku pihak lain. Adapun yang menjadi dasar kekuatan dalam hubungan internasional ialah perbedaan dalam hal pengetahuan, kehormatan, posisi yang dicapai, dan sarana kekuatan militer.
.Di lain pihak, Schoorl memandang modernisasi yang lahir di barat akan cenderung ke arah westernisasi, memiliki tekanan yang kuat meskipun unsur-unsur tertentu dalam kebudayaan asli negara ketiga dapat selalu eksis, namun setidaknya akan muncul kebudayaan barat dalam kebudayaanya.
Beberapa kelemahan pandangan mengenai konsep modernisasi tentang kemanusiaan:[10]
1.     Keterlibatan negara berkembang diabaikan, konsep persamaan hak dan keadilan sosial (negara maju-berkembang) tidak menjadi sesuatu yang penting untuk dibicarakan.
2.     Modernisasi yang mendasarkan pada penggunaan iptek pada organisasi modern tidak dapat diikuti oleh semua negara.
3.     Tidak adanya indikator sosial pada modernisasi.
4.     Keberhasilan negara barat dalam melakukan modernisasi disebabkan oleh kekuasaan kolonial yang mereka miliki sehingga mampu mengeruk SDA dengan dari negara berkembang dengan murah dan mudah. Modernisasi= neokolonialisme. Negara maju= serigala berbulu domba.
Konsep modernisasi gagal dalam mengantisipasi kelemahan-kelemahan tersebut, pendekatan yang selalu berorientasi pada iptek mengasumsikan bahwa masalah kemanusiaan dapat diatasi dengan menggunakan iptek tersebut. pendekatan ini sangat kontraproduktif dimana tekanan penggunaan iptek pada industri adalah “padat modal”. Industri yang berbasis iptek tersebut memerlukan TK yang sedikit namun dengan kualifikasi yang sangat tinggi. Kondisi yang tidak mungkin terdapat pada negara berkembang dengan jumlah naker melimpah namun kualifikasi yang ada sangat rendah. Negara berkembang lebih cocok dengan industri yang menggunakan konsep “padat karya”. Bukti kegagalan pendekatan iptek semata adalah vietnam yang mampu memenangi peperangan dengan USA menggunakan taktik gerilya.

D.    Sosiologi Modernisasi dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia

Pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia selama ini juga tidak lepas dari pendekatan modernisasi. Asumsi modernisasi sebagai jalan satu-satunya dalam pembangunan menyebabkan beberapa permasalahan baru yang hingga kini menjadi masalah krusial Bangsa Indonesia. Penelitian tentang modernisasi di Indonesia yang dilakukan oleh Sajogyo (1982) dan Dove (1988). Kedua hasil penelitian mengupas dampak modernisasi di beberapa wilayah Indonesia. Hasil penelitian keduanya menunjukkan dampak negatif modernisasi di daerah pedesaan, sebagai berikut;[11]
1.     Dove dalam penelitiannya membagi dampak modernisasi menjadi empat aspek yaitu ideologi, ekonomi, ekologi dan hubungan sosial. Contoh di daerah Sulawesi Selatan. Penelitian Dove menunjukkan bahwa modernisasi yang terjadi pada Suku Wana telah mengakibatkan tergusurnya agama lokal yang telah mereka anut sejak lama dan digantikan oleh agama baru. Modernisasi seolah menjadi sebuah kekuatan dahsyat yang mampu membelenggu kebebasan asasi manusia termasuk di dalamnya kebebasan beragama. Pengetahuan lokal masyarakat juga menjadi sebuah komoditas jajahan bagi modernisasi. Pengetahuan lokal yang sebelumnya dapat menyelesaikan permasalahan masyarakat harus serta merta digantikan oleh pengetahuan baru yang dianggap lebih superior. Dove mengulas lebih jauh kegagalan modernisasi sebagai akibat benturan dua budaya yang berbeda dan adanya kecenderungan penghilangan kebudayaan lokal dengan nilai budaya baru. Budaya baru yang masuk bersama dengan modernisasi.
2.     Sajogyo justru kemudian membahas proses modernisasi di Jawa yang menyebabkan perubahan budaya masyarakat. Masyarakat Jawa dengan tipe ekologi sawah selama ini dikenal dengan “budaya padi” menjadi “budaya tebu”. Perubahan budaya ini menyebabkan perubahan pola pembagian kerja pria dan wanita. Munculnya konsep sewa lahan serta batas kepemilikan lahan minimal yang identik dengan kemiskinan menjadi berubah. Pola perkebunan tebu yang membutuhkan modal lebih besar dibandingkan padi menyebabkan petani menjadi tidak merdeka dalam mengusahakan lahannya. Pola hubungan antara petani dan pabrik gula cenderung lebih menggambarkan eksploitasi petani sehingga semakin memarjinalkan petani.
Modernisasi yang terlalu mengedepankan budaya Barat sebagai patokan untuk membangun masyarakat, telah melupakan nilai-nilai kultural masyarakat dan menganggap kultur masyarakat sebagai penghambat pembangunan bahkan sebagai faktor yang menyebabkan keterbelakangan masyarakat Indonesia. Pada kenyataannya, masyarakat Indonesia semakin terbelakang bahkan semakin carut-marut akibat masuknya budaya-budaya asing yang menghancurkan indegenous knowledge masyarakat lokal. Pemerintah secara sepihak telah memutuskan bentuk pembangunan yang dilakukan di Indonesia tanpa melibatkan masyarakat sebagai bagian dari pembangunan. Dalam hal ini, oleh pemerintah masyarakat dijadikan obyek pembangunan bukan sebagai subyek pembangunan sehingga masyarakat tidak pernah dilbatkan secara langsung.
Pemerintah selalu menganggap kondisi masyarakat adalah sebuah kondisi yang harus mendapat pembenahan. Ternyata pembenahan yang dilakukan pemerintah terkadang menjadi negatif setelah dilaksanakan pada masyarakat yang memiliki nilai kultural yang bertolak belakang dengan program pembangunan pemerintah. Dampak yang ada di masyarakat sebagai akibat dari pembangunan, yang tidak jarang berdampak negatif, di jelaskan oleh penulis sebagai sebuah biaya yang harus menjadi tanggungan masyarakat dari pelaksanaan pembangunan dan modernisasi yang dilakukan oleh pemerintah.
Berikut dampak positif dan negatif modernisasi yang terjadi;[12]
a).  Dampak Positif
        a     Perubahan Tata Nilai dan Sikap; Adanya modernisasi dan globalisasi dalam budaya menyebabkan pergeseran nilai dan sikap masyarakat yang semua irasional menjadi rasional.
        b     Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat menjadi lebih mudah dalam beraktivitas dan mendorong untuk berpikir lebih maju.
        c      Tingkat Kehidupan yang lebih Baik; Dibukanya industri yang memproduksi alat-alat komunikasi dan transportasi yang canggih merupakan salah satu usaha mengurangi penggangguran dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
b).  Dampak Negatif
        a     Pola Hidup Konsumtif; Perkembangan industri yang pesat membuat penyediaan barang kebutuhan masyarakat melimpah. Dengan begitu masyarakat mudah tertarik untuk mengonsumsi barang dengan banyak pilihan yang ada.
        b     Sikap Individualistik; Masyarakat merasa dimudahkan dengan teknologi maju membuat mereka merasa tidak lagi membutuhkan orang lain dalam beraktivitasnya. Kadang mereka lupa bahwa mereka adalah makhluk sosial.
        c      Gaya Hidup Kebarat-baratan; Tidak semua budaya Barat baik dan cocok diterapkan di Indonesia. Budaya negatif yang mulai menggeser budaya asli adalah anak tidak lagi hormat kepada orang tua, kehidupan bebas remaja, dan lain-lain.
        d     Kesenjangan Sosial; Apabila dalam suatu komunitas masyarakat hanya ada beberapa individu yang dapat mengikuti arus modernisasi dan globalisasi maka akan memperdalam jurang pemisah antara individu dengan individu lain yang stagnan. Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial.














KESIMPULAN

Pembangunan juga dapat diartikan sebagai suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk me­menuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi, sedangkan pembangunan dalam sosiologi adalah cara menggerakkan masyarakat untuk mendukung pembangunan dan masyarakat adalah sebagai tenaga pembangunan, dan dampak pembangunan.
Pendekatan sosiologi modern cenderung mikro (lebih sering disebut pendekatan empiris). Artinya, perubahan masyarakat dapat dipelajari mulai dari fakta sosial demi fakta sosial yang muncul. Berdasarkan fakta sosial itu dapat ditarik kesimpulan perubahan masyarakat secara menyeluruh. Sejak saat itulah disadari betapa pentingnya penelitian (research) dalam sosiologi. Teori Modernisasi berasal dari dua teori dasar yaitu teori pendekatan psikologis dan teori pendekatan budaya.
Modernisasi menjadi rujukan utama oleh negara dunia ketiga dan dianggap sebagai satu-satunya jalan menuju kesejahteraan seperti yang telah dialami oleh negara dunia kedua. Namun, konsep modernisasi ternyata mempunyai beberapa kelemahan apabila diterapkan di negara dunia ketiga. Perbedaan budaya merupakan salah satu faktor pembeda yang utama antara negara dunia kedua dan ketiga.
Pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia selama ini juga tidak lepas dari pendekatan modernisasi. Modernisasi yang terlalu mengedepankan budaya Barat sebagai patokan untuk membangun masyarakat, telah melupakan nilai-nilai kultural masyarakat dan menganggap kultur masyarakat sebagai penghambat pembangunan.
Berbagai ulasan tentang modernisasi yang telah disajikan di depan membawa kita pada pertanyaan akhir yang layak untuk didiskusikan. Modernisasi masih bisakah dipertahankan sebagai perspektif pembangunan bangsa kita. Perbaikan-perbaikan konsep modernisasi yang diselaraskan dengan budaya serta pengetahuan lokal masyarakat akan menjadi sebuah konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan dan kemanusiaan.


[2] Hann Tan, Joe dan Topatimasang. Mengorganisira Rakyat. (Yogyakarta; SEAPCP & ReaD. 2003). Hlm. 89
[3] Schoorl, J.W. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang. (Jakarta; PT. Gramedia. 1980). Hlm. 59
[4] Schoorl, Ibid; hlm. 89
[6] Schoorl. Op. Cit; hlm. 92
[7] Sajogyo. Modernization Without Development. (Bacca, Bangladesh; The Journal of Social Studies. 1982). Hlm. 40
[8] Sajogyo, Ibid; hlm.45
[9] Ibid; Hlm. 98
[10] Soedjatmoko. Dimensi Manusia dalam Pembangunan. Cet. II. (Jakarta; LP3ES. 1984). Hlm. 23
[11] Sajogyo, Op.Cit; Hlm. 124
[12] Suryaningrum, Bayu. Perumusan Kebijaksanaan Pembangunan di Indonesia. (Jakarta; PT. Bina Aksara. 1998). Hlm. 126

0 komentar:

Posting Komentar