Sabtu, 24 Desember 2011

Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd



PANDANGAN FILSUF ISLAM
MENGENAI FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN
(Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd)

Al-Ghazali vs Ibnu Rusyd
        A.      Al-GHAZALI
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i (lahir di Thus; 1058 /450 H – meninggal di Thus; 1111 / 14 Jumadil Akhir 505 H; umur 52–53 tahun) adalah seorang filosof dan teolog muslim Persia, yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat abad Pertengahan.
 Gelar beliau al-Ghazali ath-Thusi berkaitan dengan ayahnya yang bekerja sebagai pemintal bulu kambing dan tempat kelahirannya yaitu Ghazalah di Bandar Thus, Khurasan, Persia (Iran). Sedangkan gelar asy-Syafi'i menunjukkan bahwa beliau bermazhab Syafi'i. Ia berasal dari keluarga yang miskin. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi yaitu ingin anaknya menjadi orang alim dan saleh. Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama, ahli pikir, ahli filsafat Islam yang terkemuka yang banyak memberi sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Ia pernah memegang jawatan sebagai Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tinggi di Baghdad. Imam Al-Ghazali meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah bersamaan dengan tahun 1111 Masehi di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat kelahirannya.
Imam al-Ghazali mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak berhujjah. Ia digelar Hujjatul Islam karena kemampuannya tersebut. Ia sangat dihormati di dua dunia Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah yang merupakan pusat kebesaran Islam. Ia berjaya menguasai pelbagai bidang ilmu pengetahuan. Imam al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan. Ia juga sanggup meninggalkan segala kemewahan hidup untuk bermusafir dan mengembara serta meninggalkan kesenangan hidup demi mencari ilmu pengetahuan. Sebelum beliau memulai pengembaraan, beliau telah mempelajari karya ahli sufi ternama seperti al-Junaid Sabili dan Bayazid Busthami. Imam al-Ghazali telah mengembara selama 10 tahun. Ia telah mengunjungi tempat-tempat suci di daerah Islam yang luas seperti Mekkah, Madinah, Jerusalem, dan Mesir. Ia terkenal sebagai ahli filsafat Islam yang telah mengharumkan nama ulama di Eropa melalui hasil karyanya yang sangat bermutu tinggi. Sejak kecil lagi beliau telah dididik dengan akhlak yang mulia. Hal ini menyebabkan beliau benci kepada sifat riya, megah, sombong, takabur, dan sifat-sifat tercela yang lain. Ia sangat kuat beribadat, wara', zuhud, dan tidak gemar kepada kemewahan, kepalsuan, kemegahan dan mencari sesuatu untuk mendapat ridha Allah SWT.
Pada tingkat dasar, beliau mendapat pendidikan secara gratis dari beberapa orang guru karena kemiskinan keluarganya. Pendidikan yang diperoleh pada peringkat ini membolehkan beliau menguasai Bahasa Arab dan Parsi dengan fasih. Oleh sebab minatnya yang mendalam terhadap ilmu, beliau mula mempelajari ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, usul fiqih, filsafat, dan mempelajari segala pendapat keeempat mazhab hingga mahir dalam bidang yang dibahas oleh mazhab-mazhab tersebut. Selepas itu, beliau melanjutkan pelajarannya dengan Ahmad Ar-Razkani dalam bidang ilmu fiqih, Abu Nasr al-Ismail di Jarajan, dan Imam Harmaim di Naisabur. Oleh sebab Imam al-Ghazali memiliki ketinggian ilmu, beliau telah dilantik menjadi mahaguru di Madrasah Nizhamiah (sebuah universitas yang didirikan oleh perdana menteri) di Baghdad pada tahun 484 Hijrah. Kemudian beliau dilantik pula sebagai Naib Kanselor di sana. Ia telah mengembara ke beberapa tempat seperti Mekkah,Madinah,Mesir dan Jerusalem untuk berjumpa dengan ulama-ulama di sana untuk mendalami ilmu pengetahuannya yang ada. Dalam pengembaraan, beliau menulis kitab Ihya Ulumuddin yang memberi sumbangan besar kepada masyarakat dan pemikiran manusia dalam semua masalah.
Epistemologi Al-Ghazali
a.        klasifikasi Pencari Kebenaran
Menurut Al-Ghazali terdapat empat kelompok manusia pencari kebenaran yaitu: pertama, kelompok mutakallimun (ahli teologi), yaitu yang mengaku dirinya sebagai eksponen pemikir intelektual. Kedua, kelompok bathiniah yang terdiri dari para pengajar yang mempunyai wewenang (ta’lim) menyatakan bahwa hanya merekalah yang mendapat kebenaran yang datang dari seorang guru yang memiliki pribadi sempurna dan tersenbunyi. Ketiga, kelompok filsuf (ahli pikir) yang menyatakan diri sebagai kelompok logikus. Keempat, kelompok sufi yang menyatakan hanya mereka yang dapat mencapai tingkat kebenaran dengan Allah melalui penglihatan serta pengertian secara bathiniah.
Dalam bidang filsafat, Al-Ghazali mengemukakan enam lapangan penyelidikan sebagai berikut: matematika, logika, fisika, metafisika (ketuhanan), poltik, dan etika.


b.        Masalah Metode
Kelompok mutakallimun mempergunakan metode debat (disputatio) untuk memperoleh pengetahuan. Mereka memecahkan masalah dengan berdebat dan hasil debat itulah yang dijadikan kesimpulan apakah masalah itu benar atau tidak.
Kelompok bathiniah mempergunakan metode yang disebut ta’lum, yaitu metode yang berpangkal tolak bahwa suatu kebenaran dapat diterima apabila berasal dari orang yang dapat dipercaya yang disebut guru.
Kelompok logikus, semata-mata mendasarkan kebenaran itu pada penalaran akal. Suatu masalah dianggap benar apabila logis diterima oleh akal. Kelompok sufi (mistikus) metode yang digunakan disebut kontemplasi (perenungan). Corak pemikiran Al-ghazali adalah sofistik, tetapi metodanya sendiri dimulai dari keragu-raguan. Keragu-raguan Al-ghazali  bukan skeptis, sebabnya tidak percaya pada kemampuan  perasaan (indera) dan kemampuan akal sebelum diuji secara kritis.

c.         Akal dan Wahyu
Al-Ghazali menyatakan “ sebagaimana kecerdasan akal adalah merupakan satu tingkat dari perkembangan manusia dimana ia diperlengkapi  dengan mata untuk dapat  melihat berbagai macam bentuk sesuatu yang dapat Ma’kul (difahamkan), yang berada disasmping akal pengetahuan”.[1] Al-Ghazali menegaskan, pertama-tama pengetahuan itu datang dari Tuhan melalui ilham.  Tetapi ilham bukan merupakan wahyu atau kenabian.  Al-Ghazali membedakan antara wahyu dengan ilham, disamping mengklasifikasikan ilmu  kedalam jenis pengetahuan laduni. Ilmu laduni adalah ilmu yang menjadi terbuka dalam rahasia hati tanpa sebab yang datang dari luar.[2] 
Selain itu, pengetahuan dapat diperoleh manusia lewat ungkapan langsung yang disebut mukasyafah. Pengetahuan yang diperoleh lewat kata-kata atau yang berhubungan dengan kata-kata disebut pengetahuan muamalah. Sumber-sumber pengetahuan dan alat yang diperguanakkan manusia untuk memperolehnya, Al-Ghazali melihat fungsi ilmu pengethuan itu sendiri, yang dikatakan: “ oleh karena itu, pengetahuan mempunyai dwi fungsi. Pertama, mencapai kemajuanuntuk mendapatkan pemenuhan diri. Kedua: merupakan suatu cara yang progresif untuk mengetahui Allah”.[3]

B.       IBNU RUSYD

Nama lengkap Ibnu Rusyd adalah Abu Al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd lahir di Cordova pada tahun 520 H/1126 M. Ayah dan kakeknya perna menjadi kepala pengadilan di Andalusia. Ibnu Rusyd merevisi buku Imam Malik, Al-Muwaththa, yang dipelajarinya bersama ayahnya Abu Al-Qasim dan dihapalnya. Dia juga mempelajari matematika, fisika, astronomi, ligika, filasafat, dan ilmu pengobatan.
Keterkenalan Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat diawali dari peristiwa khalifah Abu Yaqub yang menyuruh Ibnu Thufain untuk menyuruh orang meringkas intisari filsafat Aristoteles. Sejak Ibnu Rusyd mampu meramu dan meringkas intisari pikiran-pikiran filsafat Yunani, Bouyges yang dikutip Ahmad Fuad Al-Ahwani, Ibnu Rusyd layak disebut sebagai  “juru ulas” dan dengan sebutan itulah, dia dikenal oleh masyarakat Eropa abad pertengahan.
Dengan realitas yang dialami sebagai Qadhi, dokter, dan didukung oleh berbagai penguasaan ilmu, seperti metematika, fisika, astronomi, kedokteran, logika, dan filsafat, Ibnu Rusyd menjadi ulama dan filsuf yang sulit ditandingi. Kehebatannya dapat diliht dari berbagai karya yang telah ditulis, meskipun di akhir hidupnya, Rusyd mendapat tuduhan besar sehingga ia di buang dari tanah kelahirannya.

Epistemologi Ibnu Rusyd
a.    Agama dan Filsafat
Dalam rangka membela filsafat dan para filsuf muslim dari serangan para ulama, Ibnu Rusyd menegaskan bahwa antara agama (Islam) dan filsafat tidak ada pertentangan. Inti filsafat tidak lain dari berpikir tentang wujud untuk mengetahui penciptaan segala yang ada. Ibnu Rusyd mendasarkan argumennya dengan dalil Al-Qur’an (Al-Hasyr,2)[4].

Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan.” (Al-Qur’an Al-Hasyr: 2)

Menyuruh manusia berpikir tentang wujud atau alam yang tampak dalam rangka mengetahui Tuhan. Dengan demikian, sebenarnya Al-Qur’an menyuruh umat manusia berfilsafat. Oleh karena itu, bahwa kaum muslim wajib berfilsafat (wujub al-‘aql)[5], atau mempelajari (mengambil manfaat) filsafatYunani, bukan dilarang atau diharamkan. Menurut Ibnu Rusyd, bila ada teks wahyu yang arti lahiriahnya bertentangan dengan pendapatan akal, teks itu haruslah ditakwilkan atau ditafsikan sedemikian rupa sehingga menjadi sesuai dengan pendapat akal.
Jadi, Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk mempelajari filsafat karena manusia harus membuat spekulasi atas alam raya ini dan merenngkan bermacam-macam kemaujudan. Sasaran agama secara filosofi, yakni agama berfungsi sebagai penciptaan teori yang benar dan perbuatan yang benar (al-‘ilm al-haq wal-‘amal al-haqq).[6] Sebab pengetahuan sejati ialah pengetahuan tentang Tuhan, kemaujudan lainnya, dan kebahagiaan serta kesengsaraan di akhirat. Ada dua cara untuk mendapatkan pengetahuan, yaitu pencerapan dan persesuaian. Persesuaian bias bersifat demonstrative,  dealektis, atau retoris.
Ibnu Rusyd membagi manusia dalam tiga golongan, sebagaimana dalam Al-quran. Manusia terdiri atas tiga golongan : para filsuf, para teolog, dan orang-orang awam(Al-jumhur). Para filsuf adalah kaum yang menggunakan cara demonstrative. Para teolog yaitu orang-orang Asy’ariah, yang ajaran-ajaran mereka menjadi ajaran-ajaran resmi pada masa Ibnu Rusyd, yaitu kaum yang lebih rendah tingkatannya karena mereka memulai dari penalaran dialektis dan bukan dari kebenaran ilmiah. Orang awam ialah orang-orang retoris  yang hanya bias menyerap sesuatu lewat contoh-contoh dan pemikiran puitis.
Tujuan dan tindakan filsafat sama dengan tujuan dan tindakan agama. Jika yang tradisional itu(al-manqul) ternyata bertentangan dengan yang rasional(al-ma’qul), yang tradisional harus ditafsirkan supaya selaras dengan  yang rasional. Penafsiran yang bersifat alegoris (ta’wil) didasarkan pada kenyataan bahwadidalam Al-quran dan ayat-ayat yang tersurat dan tersirat.

b. Qadim-nya Alam
Dalam rangka menangkis sarangan Al-Ghazali terdapat paham qadim-nya alam, Ibnu Rusyd mennegaskan bahwa paham qadim-nya alam itu tidak bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an. Menurut Ibnu Rusyd, dari ayat-ayat Al-Qur’an (QS. 11:7, 41:11, 21:20) dapat diambil kesimpulan bahwa alam diciptakan Tuhan bukanlah dari tiada (al-‘adam), tetapi dari sesuatu yang telah ada. Selain itu, ia juga mengingatkan bahwa paham qadim-nyaalam tidaklah harus membawah pada pengertian bahwa alam itu ada dengan sendirinya  atau tidak dijadikan oleh Tuhan. Karena diciptakan-Nya sejak qidam, alam itu menjadi qidam pula. Bagaimanapun, Tuhan dan alam tidak sama karna Tuhan adalah qadim yang mencipta, sedangkan alam adalah qadim yang diciptakan.
Ibnu Rusyd mendasarkan pemikiran tentang alam itu alam itu kekal adalah surat Ibrahim ayat 47-48.[7] sebagai berikut :

karena itu janganlah sekali-kali kamu mengira Allah akan menyalahi janji-Nya kepada rasul-raaul-Nya; Sesungguhnya Allah Maha perkasa, lagi mempunyai pembalasan (47). (yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan meraka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa (48)”

Dalam ayat ini jelas bahwa bumi dan langit akan ditukar dengan bumi dan langit yang lain. Sesudah alam materi sekarang akan ada alam materi lain. Dengan kata lain adalah alam adalah kekal. Dengan demikian, pendapat para filsuf tentang kekekalan alam tidaklah bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran.
Selanjutnya Ibnu Rusyd melihat adanya perbedaan antara kaum teolog dan filsuf dalam mengartikan kata “al’Ihdas’ mewujudkan bagi kaum teolog itu mengandung arti “mewujudkan dari tiada”, sedangkan kaum filsuf mengartikan “mewujdkan yang tak bermula dan tak berakhir”.
Demikian pula dalam pengertian “qadim”, bagi kaum teolog “qadim” mengandung arti sesuatu yang berwujud tanpa sebab, sedangkan bagi kaum filsuf qadim tidak mesti mengandung arti  hanya”sesuatu yang berwujud tanpa sebab”, tetapi boleh juga bearti “sesuatu yang berwujud dengan sebab”. Dengan demikian, qadim adalah sifat bagi sesuatu yang dalam kejadian kekal.[8]

c.         Kebangkitan Jasmani
Menurut Ibnu Rusyd, Al-Ghozali dalam bukunya “tahafut Al-Falasfa” menyatakan bahwa tidak ada ulama yang berpendapat bahwa kebangkitan pada hari akhirat hanya bersifat rohani kebangkitan rohani, jadi menurut Ibnu Rusyd tidak ada ijma (kesepakatan) ulama tentang kebangkitan jasmani pada hari akhirat dan karena itu paham yang menyatakan kebangkitan di akhirat hanya bersifat rohani saja, tidak dapat dikafirkan dengan alasan adanya ijma





KESIMPULAN

Dari pembahsan diatas maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa Al-Ghazali membagi empat kelompok manusia pencari kebenaran yaitu: pertama, kelompok mutakallimun (ahli teologi), Kedua, kelompok bathiniah, Ketiga, kelompok filsuf (ahli pikir) dan Keempat, kelompok sufi.
Al-Ghazali membedakan antara wahyu dengan ilham, disamping mengklasifikasikan ilmu  kedalam jenis pengetahuan laduni. Ilmu laduni adalah ilmu yang menjadi terbuka dalam rahasia hati tanpa sebab yang datang dari luar.
Ibnu Rusyd menegaskan bahwa antara agama (Islam) dan filsafat tidak ada pertentangan. Karena Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk mempelajari filsafat karena manusia harus membuat spekulasi atas alam raya ini dan merenngkan bermacam-macam kemaujudan. Sasaran agama secara filosofi, yakni agama berfungsi sebagai penciptaan teori yang benar dan perbuatan yang benar (al-‘ilm al-haq wal-‘amal al-haqq).
Dalam rangka menangkis sarangan Al-Ghazali terdapat paham qadim-nya alam, Ibnu Rusyd mennegaskan bahwa paham qadim-nya alam itu tidak bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an


[1] H. Rus’an, Mutiara Ihjaa ‘Ulumuddin, (Jakarta: CV. Mulja,1964), hal.18
[2] Imam Ghazali, Keajaiban Hati, Terjemahan Nurhickmal, (Jakart: Tinta Mas, 1965), hal.61
[3] Ali Issa Othman, The Concept of Man Islam in the writings of Al-ghazali, manusia menurut Al-ghazali, penterjemah Johan Smit, Anas Mahyudin, Yusuf, Cet.1 (Bandung: Pustaka –perpustakaan Salman ITB, 1981) hal.93
[4] QS. Al-Hasyr (59), ayat 2
[5] M.M Sarif, Para Filosof  Muslim, (Bandung: Mizan), hlm. 204-205
[6] Taufik Yatuhl, Qishahtu Ash-Shira’ baina Ad-Din wa Al-Falsafah, (Kairo: Dar An-Nahdhah Al-Arabiyah, 1979), Cetakan ketiga, hlm. 125-126.
[7] QS. Ibrahim, ayat 47-48
[8] Taufik Yatuhl, Qishahtu Ash-Shira’ baina Ad-Din wa Al-Falsafah, Ibid; hal. 155

0 komentar:

Posting Komentar