Sabtu, 10 Desember 2011

Pers, kok malah di Musuhi!!!


Tulis 

Pena wartawan lebih tajam dari peluru tentara”, adalah pribahasa yang hingga kini barangkali kerap mendasari munculnya kekuatan pers dalam mengungkap kasus, hal ini  juga mendasari hadirnya sikap curiga kekuasaan yang dimiliki pers. Padahal pers bebas dan merdeka adalah salah satu syarat mutlak terpenuhinya tegaknya sistem demokrasi, mengapa pers malah dicurigai? Setidaknya pers pun perlu untuk mengoreksi diri. Pers selayaknya menjaga kebebasan yang dimilikinya dengan tidak bertindak kebablasan. 

Harus diakui banyak kritik yang datang atas kebebasan pers di Indonesia karena pers kita yang sering bertindak terlalu liberal seperti Amerika serikat. Banyak tokoh pers nasional mengungkapkan kekhawatirannya itu. Tjipta Lesmana (2005) misalnya mengatakan dalam era reformasi yang penuh euphoria kebebasan terjadi kecenderungan pada sementara wartawan kita untuk bersikap arogan. Mereka selalu menonjolkan kebebasan daripada tanggungjawab sosial. Tarman Azzman (2005), mengatakan munculnya sikap arogansi sebagian komunitas pers yang benar benar terkesan betapa sangat bebasnya pers Indonesia melebihi kebebasan pers di Amerika Serikat, Australia, Jepang dan Eropa Barat sekalipun. Pengacara OC Kaligis (2005) juga ikut memberikan catatan khusus tentang kebebasan pers di Indonesia. Menurutnya situasi kebebasan pers sekarang kiranya sama dengan situasi pada masa transisi di Amerika Serikat. Kebebasan yang yang tidak bisa lepas dari kepentingan kepentingan politik, kelompok atau orang-orang tertentu.
 Tak sedikit angin segar kebebasan pers, membuat beberapa media menyajikan informasi cenderung lepas dan tidak terkontrol, membungkus berita kritik dan pengungkapan kasus kejahatan birokrat, dan politikus  dengan membalikan media dengan penyajian yang tanpa disadari atau pun disadari hanya merusak citra pers dengan menyembunyikan fakta, mengurangi informasi dan membesar-besarkan informasi yang membodohi, tidak bernilai dan tidak berkepentingan bagi masyarakat.
Pers seakan perlu menanamkan pengertian bahwa kebebasan adalah ketakbebasan. Memang dalam era reformasi, pers nasional bebas memberitakan apa saja, bahkan mengkritik pemerintahan dengan keras. Para wartawan sama sekali tidak takut dengan pemerintah. Kini tidak lagi sama, sejak keberadaan Undang Undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers telah mengamatkan kebebasan mutlak. Dengan artian kemerdekaan pers itu harus bebas dan bertangung jawab. Lahirnya undang-ndang tersebut merupakan landasan legal bagi media dalam memberitakan segala hal, termasuk mengkritik negara, kontrol sosial, pendidikan dan sebagainya. Sehingga dapat dikatakan pers memiliki beban moril dengan menjaga kepercayaan, bekerja profesional berdasarkan kode etik yang dibuat bersama oleh dewan pers dan seluruh elemen kewartawanan dan media.
Tetapi coretan kuli tinta itu tetap menjadi primadona masalah dikalangan para penguasa, tetap dicurigai dan tetap menjadi momok yang menakutkan bagi penguasa yang menyimpan bangkai. Tak ayal para penjabat orde baru kerap menunding pers memperaktikan “jurnalisme alkohol” maksud mereka pers itu menulis dengan gaya orang mabuk, suwenak nye dewek. Sehingga dengan mudah mereka membungkam media yang kritis. Seperti pada kasus pemberedelan Detik, tempo, dan Editor beberapa tahun yang silam. Juga dibuatnya berbagai macam produk perundang-undangan yang dimaksud dapat menekan atau dalam artian mengancam kebebasan pers dalam mengungkap borok pemerintah. Contohnya saja kasus korupsi yang dinilai sistemik dengan bersembunyi dibalik bayang-bayang undang-undang atau alasan kebijakan pemerintah. Semua itu sama dekali tidak membuat nyali kuli tinta itu takut, malah membuat pers harus bekerja ekstra hati-hati dan profesional dalam meliput kasus-kasus korupsi. Pers yang telah menjadi pilar demokrasi, ini bukan soal menang atau kalah, tetapi tentang benar atau salah.
Sepanjang yang bisa diamati, praktek tindak kejahatan korupsi sudah begitu meruak di Indonesia. Begitu  parahnya, sampai timbul anggapan di masyarakat sebagai praktik yang lumrah. Masyarakat sudah begitu jenggah menonton pemberitaan penjabat ini itu yang sedang terlibat kasus korupsi. Namun lagi-lagi bahwa kebebasan pers telah ikut berperan bagi tegaknya demokrasi dan pemerintah yang bersih. Dengan adanya pers masyarakat dapat mengetahui apa saja kelakuan penguasa negaranya karena sorotan pers yang tak hentinya berjuang membongkar berbagai penyimpangan yang dilakukan para pemegang kekuasaan itu. Sebenarnya tidak selayaknya pers itu senantiasa di curigai, ditakuti atau bahkan dimusuhi praktik  kerjanya, karena pers yang kritis dan profesional memang harus dapat menyentuh jantung pemberitaan, bukan membahas etik atau tidak etik atau patut tidak patutnya, salah satu hal yang paling bahaya bagi pers adalah menyensor diri sendiri yakni tidak menerbitkan pemberitaan yang mereka rasa mengancam medianya. Untuk itu beginilah kerjanya, pers harus kuat dengan segala macam ancaman. Para objek liputan pers sendiri yang memiliki masalah sehingga mengangap pers seperti hantu yang menakutkan yang pada waktunya membongkar kedoknya, untuk menghindari itu semua dengan berbagai cara mereka berusaha menerapkan berbagai pembatasan baru terhadap pers. Kalau saja objek pemberitaan itu berlaku baik, benar dan tidak menyeleweng dalam menjalankan wewenangnya baik di pemerintahan atau pun swasta, pastilah mereka adem anyem.
Menurut amatan, pers nasional kita masih begitu banyak masalah dihadapi, namun jalan keluar terbaik bukanlah dengan menerapkan pembatasan yang membuat ruang gerak pers menyempit. Dengan kebebasan pers, berbagai gerakan didunia mendapat dukungan pers. Tanpa kebebasa pers, mungkinkah pemeritah pusat mendeteksi secara tepat kasus busung lapar, warga lapisan kebawah, tidak terjamahnya pendidikan, bencana alam, berbagai kecelakaan dan tragedi-tragedi kemanusiaan lain yang terjadi diseluruh plosok indonesia. Jadi pers tidak hanya menyorot kasus korupsi para birokrat, yang hanya gara-gara ulah iblis penguasa, kebebasan pers kena imbasnya. Seharusnya para penguasa negeri dan pers bekerja sama demi tegaknya negara yang demokrasi dan bersih dari KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Bukan malah di musuhi.

0 komentar:

Posting Komentar