Monpera |
A. Pendahuluan
Mengikuti
perkembangan dunia secara global peran serta setiap ilmu untuk turut andil
dalam pembanguan kualitas sumber daya masyarakat secara keseluruhan haruslah
lebih mengarah kepada suatu perubahan yang lebih baik dan berdasarkan
fakta-fakta sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Peranan
ilmu sosiologi dalam pembangunan kualitas sumber daya masyarakat tentunya
sangat penting
dilihat dari segi pengertian dari sosiologi itu sendiri. dimana fakta-fakta sosial dapat dikumpulkan dengan pemahaman dan juga menguasai ilmu-ilmu pada cabang ilmu sosial. Adapun suatu pengertian dasar dari ilmu tersebut.
dilihat dari segi pengertian dari sosiologi itu sendiri. dimana fakta-fakta sosial dapat dikumpulkan dengan pemahaman dan juga menguasai ilmu-ilmu pada cabang ilmu sosial. Adapun suatu pengertian dasar dari ilmu tersebut.
Untuk
itu untuk pembangunanan kualitas sumber daya munculnya teori sosiologi modern.
Modernisasi merupakan sebuah isu dalam rangka pencapaian proses pembangunan
pasca berakhirnya perang dunia (PD II), yang melibatkan beberapa ilmuan sosial
barat sebagai sebuah tantangan untuk memiliki model pembangunan dan memperbaiki
pertumbuhan ekonomi.
Sepertinya
Modernisasi menjadi rujukan utama oleh negara dunia ketiga dan dianggap sebagai
satu-satunya jalan menuju kesejahteraan seperti yang telah dialami oleh negara
dunia kedua. Untuk itu apakah benar-benar cocok sosiologi modernisasi dapat
dipakai oleh negara Indonesia dalam pelaksanaan pembangunannya.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang
akan dibahas dalam makalah ini, adalah sebagai berikut:
1. Apakah
definisi pembangunan dan sosiologi pembangunan?
2. Jelaskan
bagaimana kelahiran dari sosiologi medern?
3. Bagaimana
penerapan konsep modernisasi dalam pembangunan dunia ketiga?
4. Bagaimana
penerapan sosiologi modernisasi dalam pembangunan NKRI?
SOSIOLOGI MODERNISASI DALAM
PEMBANGUNAN MASYARAKAT
A. Defenisi Pembangunan dan Sosiologi
Pembangunan
Istilah pembangunan telah banyak
digunakan oleh banyak orang. Bagi sebagian orang pembangunan berkonotasi pada
sebuah proses perubahan ekonomi yang dibawa oleh proses Industrialisasi.
Istilah ini juga dapat diartikan sebagia proses perubahan sosial yang
dihasilkan dari urbanisasi, adopsi gaya hidup modern, dan perilaku masa kini.
Jadi istilah istilah ini juga memiliki konotasi kesejahteraan yang menawarkan
bahwa pembangunan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan level
pendidikan mereka, memperbaiki kondisi pemukiman dan kesehatan mereka. (James
Madgley).
Menurut Easton (Miriam
Budiardjo,1985) proses sistematik paling tidak terdiri atas tiga unsur. Pertama
adanya input yaitu bahan masukkan konversi, kedua adanya proses konversi yaitu
wahana untuk mengolah, ketiga adanya output yaitu sebagai hasil dari proses
konversi yang dilaksanakan. Proses pembangunan sebagai proses sistematik pada
akhirnya akan menghasilkan keluaran (output) pembangunan, kualitas pembangunan
tergantung pada kualitas input kualitas dari pembangunan yang dilaksanakan,
serta seberapa besar pengaruh terhadap lingkungan dan faktor-faktor alam
lainnya. Bahan masukkan pembangunan, salah satunya adalah sumber daya manusia,
yang dalam konkrtinya adalah manusia. Manusia dalam proses ini mengandung
beberapa pengertian yaitu manusia sebagai pelaksaan pembangunan, manusia sebagi
perencana pembangunan dan manusia sebagai sasaran pembangunan.
Pembangunan juga dapat
diartikan sebagai suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan alternatif yang
lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk memenuhi dan mencapai
aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho dan Rochmin Dahuri, 2004).
Siagian (1994) memberikan pengertian
tentang pembangunan sebagai “Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan
perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara
dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation
building)”. Sedangkan Ginanjar Kartasasmita (1994) memberikan
pengertian yang lebih sederhana, yaitu sebagai “suatu proses perubahan ke arah
yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana”.
Pengertian pembangunan dalam
sosiologi adalah cara menggerakkan masyarakat untuk mendukung pembangunan dan
masyarakat adalah sebagai tenaga pembangunan, dan dampak pembangunan.[1]
Menurut Soerjono Soekanto, pengetahuan sosiologi dapat diterapkan dan
berguna untuk kehidupan sehari-hari, misalnya untuk memberikan data-data sosial
yang diperlukan pada tahapan perencanaan, pencaharian, penerapan dan penilaian
proses pembangunan.
Pada tahap perencanaan hasil
penelitian sosiologi dapat digunakan sebagai bahan pada tahap evaluasi. Pada
tahap penerapan, perlu diadakan identifikasi terhadap kekuatan sosial yang ada
di dalam masyarakat. Dengan mengetahui kekuatan sosial tersebut dapat diketahui
unsur-unsur yang dapat melancarkan pembangunan dan yang menghalangi
pembangunan. Pembangunan merupakan bentuk perubahan sosial yang terarah dan
terncana melalui berbagai macam kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan
taraf kehidupan masyarakat.
Pada masa sekarang ini, konsep
pembangunan sudah merupakan suatu ideologi yang menggambarkan kegiatan-kegiatan
dalam upaya mengejar pertumbuhan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam
pembangunan sangat berhubungan dengan soiologi pembangunan. Dalam suatu proses
pembangunan perlu adanya kemauan keras serta kemampuan untuk memanfaatkan
potensi-potensi yang tersedia dalam masyarakat untuk keperluan pembangunan.[2]
Berbagai perencanaan perlu disusun dan digelar dalam rangka menghimpun kekuatan
masyarakat untuk berpartisipasi dalam usaha mencapai tingkat kesejahteraan
lebih tinggi.
B. Kelahiran
Sosiologi Modern
Sosiologi modern tumbuh pesat di
benua Amerika,
tepatnya di Amerika Serikat dan Kanada. Pada permulaan abad ke-20, gelombang
besar imigran berdatangan ke Amerika Utara.[3]
Gejala itu berakibat pesatnya pertumbuhan penduduk,
munculnya kota-kota industri baru, bertambahnya kriminalitas dan lain lain.
Konsekuensi akibat gejolak sosial itu yakni perubahan besar masyarakat pun tak
terelakkan.
Perubahan masyarakat itu menggugah
para ilmuwan sosial
untuk berpikir keras, untuk sampai pada kesadaran bahwa pendekatan sosiologi lama
ala Eropa
tidak relevan lagi. Mereka berupaya menemukan pendekatan baru yang sesuai
dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Maka lahirlah sosiologi modern.[4]
Pendekatan sosiologi modern cenderung
mikro (lebih sering
disebut pendekatan empiris). Artinya, perubahan masyarakat dapat dipelajari
mulai dari fakta sosial demi fakta sosial yang muncul. Berdasarkan fakta sosial
itu dapat ditarik kesimpulan perubahan masyarakat secara menyeluruh. Sejak saat
itulah disadari betapa pentingnya penelitian (research) dalam sosiologi.
Teori Modernisasi berasal dari dua teori dasar yaitu
teori pendekatan psikologis dan teori pendekatan budaya.[5]
Teori pendekatan psikologis menekankan bahwa pembangunan ekonomi yang gagal
pada negara berkembang disebabkan oleh mentalitas masyarakatnya. Menurut teori
ini, keberhasilan pambangunan mensyaratkan adanya perubahan sikap mental
penduduk negara berkembang. Sedangkan teori pendekatan kebudayaan lebih melihat
kegagalan pembangunan pada negara berkembang disebabkan oleh ketidaksiapan tata
nilai yang ada dalam masyarakatnya. Secara garis besar teori modernisasi
merupakan perpaduan antara sosiologi, psikologi dan ekonomi. Teori dasar yang
menjadi landasan teori modernisasi adalah ide Durkheim dan Weber, yakni
melalui teori pendekatan sosialnya, sebagai berikut;[6]
a. Emile Durkheim memperkenalkan pendekatan
fungsionalisme yakni teori pendekatan budaya yang berupaya menelurusi fingsi
berbagai elemen sosial sebagai pengikat sekaligus pemelihara keteraturan
sosial. Pendekatan yang dikenalkan oleh emile durkheim dapat menjadi pembatas
dan menciptakan keteraturan dalam hidup bermasayarakat dengan sistem yang
teratur dalam meningkatkan kualitas sumber daya masyarakat.
b. Max Weber memperkenalkan pendekatan
verstehen (pemahaman) yakni teori pendekatan psikologis yang berupaya menelusri
nilai, kepercayaan, tujuan dan sikap menjadi penuntun perilaku manusia. Dengan
pendekatan ini jelas bahwa nilai, kepercayaan dan sikap masyarakat akan
menenentukan kualitas sumber daya masyarakat maka dari itu diperlukan suatu
upaya untuk membatasinya agar tetap didalam batas normal.
C.
Modernisasi dalam Pembangunan Dunia Ketiga
Modernisasi
menjadi rujukan utama oleh negara dunia ketiga dan dianggap sebagai
satu-satunya jalan menuju kesejahteraan seperti yang telah dialami oleh negara
dunia kedua. Namun, konsep modernisasi ternyata mempunyai beberapa kelemahan
apabila diterapkan di negara dunia ketiga. Perbedaan budaya merupakan salah
satu faktor pembeda yang utama antara negara dunia kedua dan ketiga.
Modernisasi walaupun berhasil memajukan perekonomian negara dunia kedua namun
gagal mewujudkan hal yang sama pada negara dunia ketiga.
Pada
sisi lain, modernisasi akan menghasilkan suatu pola perkembangan pembangunan
dengan mendifusikan secara aktif segala sesuatu yang diperlukan dalam
pembangunan, terutama nilai-nilai ‘modern’, teknologi, keahlian dan modal. Di
dunia ketiga, pelaku yang paling aktif dalam proses modernisasi dianggap
golongan elit yang berpendidikan Barat, yang tugasnya adalah melepaskan
masyarakat dari tradisi dan membawa mereka ke dalam abad ke-20.
Dalam
konteks ini maka modernisasi merupakan suatu pola pembangunan yang jika hal itu
di terapkan oleh dunia ketiga, maka boleh jadi akan menciptakan kesejajaran
antara Barat dan dunia ketiga. Pada tahapan industrilasiasi dan ekspansi modal
yang merupakan bagian dari modernisasi adalah sepertinya juga merupakan salah
satu faktor penyebab yang akan mentrasformasikan secara cepat ketertinggalan atau
kemunduran tradisi dalam suatu komunitas pedalaman pedesaan.
Paham
marxis memandang bahwa perkembangan dan keterbelakangan dilihat sebagai sisi
berlawanan dari suatu proses yang sama: perkembangan pembangunan dalam satu
kawasan atau wilayah itu terjadi secara cepat, dikarenakan implementasi
pembangunannya dilakukan diatas biaya dan sumber daya diwilayah lain.[7]
Dalam konteks ini, masyarakat berkembang dan terbelakang turut serta dalam
sistem dunia yang sama, yang dimulai dari ekspansi dan penjajahan kaum
kapitalis. Berdasarkan pandangan ini, keterbelakangan harus dijelaskan dengan
mengacu pada posisi struktural dari masyarakat dunia ketiga dalam ekonomi global
dan tidak dengan kemunduran dari rakyat atau tradisinya.
Ajaran
utama dari teori keterbelakangan (underdevelopment) nampak bertentangan
secara langsung dengan teori modernisasi dan menandai (paling sedikit)
perubahan utama dari penekanan dalam pemikiran Marxis. Tentu saja, saya
berpendapat bahwa diantara kritikus paling tajam dari teori underdevelopment
adalah golongan Marx (Marxist) yang telah menganggap fokus teori underdevelopment
pada hubungan eksternal berlebihan dan merugikan analisis struktur sosial dan
politik dunia ketiga yang dibutuhkan. Untuk memperbaiki ketidakseimbangan ini,
beberapa penganut teori telah mencoba menguji bagaimana mode produksi
pra-kapitalis dunia ketiga tertentu mengartikulasikan dengan mode kapitalis
dominan, ketika yang lain mencoba untuk memperbaiki konsep mereka (misalkan,
dari produksi komoditas skala kecil) bahwa kedua mode sama-sama dapat
diterapkan pada dunia ketiga atau Barat. Selain itu, Marxis dan non Marxis
sama-sama telah mengeluarkan nilai heuristik dari faham ketergantungan,
bersamaan dengan kejadian empiris yang diduga memperlihatkan pemiskinan yang
berkelanjutan di dunia ketiga yang di lakukan oleh dunia Barat.[8]
Penganut
teori modernisasi cenderung merasakan dunia ketiga dari sebuah posisi
evolusioner dari manfaat dan superioritas negara barat. Teori underdevelopment
menganggap bahwa dunia ketiga perlu melangkah maju ke arah versi yang ideal
dari apa yang mungkin telah dunia barat lakukan, tanpa intervensi kejam dari
kapitalisme.
Pemikiran
mengenai pembangunan berhubungan dengan beberapa ide tentang kemajuan, yang
melibatkan suatu perubahan, mungkin sebuah evolusi, dari satu tingkat ke
tingkat lainnya. Teori modernisasi menekankan dan menyetujui kecenderungan ke
arah dunia Barat, modernitas kapitalis, sebuah pandangan yang dikemukakan
sampai pada taraf tertentu oleh Marxisme ortodoks, yang cenderung mengakui
kapitalisme sebagai satu tahap yang diperlukan menuju sosialisme. Teori underdevelopment
lebih ambivalen: teori tersebut menyangkal kapitalisme dapat membangun dunia
ketiga, terutama karena kapitalisme tidak dapat mereproduksi industrialisasi
otonomi yang diduga terjadi di dunia Barat. Sebagai gantinya, rantai
ketergantungan harus diperpendek, hubungan eksploitatif dihancurkan dan
sosialisme diperkenallkan, tidak hanya pada satu negara namun terhadap sistem
dunia keseluruhan.[9]
Kemudian,
apakah perbedaan antara pembangunan dan modernisasi? Pembangunan adalah sebuah
perubahan menuju status yang dihargai, yang mungkin atau tidak mungkin
diperoleh pada beberapa konteks sosial lain dan yang tidak mungkin terjangkau.
Modernisasi merupakan suatu proses yang sama. Ia merupakan sesuatu yang terjadi
secara aktual, baik atau buruk, rangkaian dari pola dengan konsekwensi yang
dapat digambarkan, diargumentasikan dan dievaluasi. Jika dinilai sebagai baik
atau progresif, perubahan dapat dianggap sebagai kontribusi terhadap
pembangunan, namun tidak perlu dievaluasi dengan cara ini. Hampir sama dapat
dikatakan bahwa kapitalisme merupakan satu contoh lagi yang lebih komprehensif
dari modernitas. Meskipun perdebatan sengit atas definisi, secara umum
disetujui bahwa kapitalisme melibatkan sejumlah proses sosial yang didokumentasikan
dengan baik.
Sosiologi
sedang mencoba untuk mengerti dunia masyarakat, hubungan antar dan dalam masyarakat
dan berbagai tindakan sosial dan interaksi dimana manusia turut serta
didalamnya. Apakah fokus utama mereka pada elemen mikro atau makro dari
interaksi ini, sosiolog selanjutnya mencari pola yang akan membantunya
menggambarkan, menjelaskan dan membuat pertimbangan tentang elemen yang
membedakan dari kehidupan sosial di mana mereka dihadapkan dan dimana mereka
tinggal.
Singkatnya
bahwa sosiologi modernisasi dan pembangunan adalah cabang dari sosiologi yang
menguji proses-proses modernisasi dan pembangunan, terutama tidak hanya di
dunia ketiga, dimana mereka paling jelas dan dramatis sebagai bagian dari
proyek ini, diperlukan studi struktur sosial domestik, politik dan ekonomi,
sebaik hubungannya yang berkelanjutan dengan lembaga eksternal, masyarakat dan
sistem. Dalam kesemuanya ini, perhatian paling khusus dari sosiologi adalah
dengan hubungan sosial dan proses sosial serta konotasi ekonomi, politik dan
budayanya.
Menurut
Schoorl, modernisasi itu adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak.
Modernisasi itu adalah sesuatu yang mutlak untuk dilakukan oleh negara-negara
berkembang dan dapat dilakukan jika bersentuhan dengan negara-negara maju. Hal
ini didasarkan pada bahwa modernisasi itu adalah sesuatu yang baik. Michael
dove sepakat bahwa kemajuan itu harus mengacu pada dunia-dunia maju. Namun,
tidak semua modernisasi itu merusak nilai-nilai tradisional, dalam beberapa hal
terdapat adaptasi.
Schoorl
membahas aspek sosiologi tentang
modernisasi di dunia nonbarat sebagai spesialisasi baik dari antropologi budaya
maupun dari sosiologi. Kedua bidang ilmu tersebut menaruh perhatian pada
persoalan-persolan dunia ketiga. Salah satu yang menjadi pokok perhatian adalah
gejala-gejala dan persoalan-persoalan ditingkat makro, seperti gejala
urbanisasi dan masalah kependudukan. Adapun sosiologi memberi pengertian
tentang masyarakat modern dan kebudayaannya sebagai perspektif dan membuka
kemungkinan untuk mengadakan perbandingan ke arah mana proses-proses
modernisasi berjalan.
Schoorl
(1980) dalam bukunya berjudul Modernisasi : Pengantar Sosiologi Pembangunan
Negara-Negara Sedang Berkembang membuka tulisannya dengan menyatakan bahwa
modernisasi sebagai gejala umum. Semua bangsa terlibat dalam proses
modernisasi. Manifestasi proses ini pertama kali nampak di Inggris pada abad
ke-18 yang disebut revolusi industri. Penyebaran itu dianggap sebagai sesuatu
yang begitu biasa, sehingga masyarakat dunia itu sering dibagi menjadi dua
kategori : negara maju dan negara sedang berkembang, masing-masing terdiri atas
negara-negara yang telah mengalami modernisasi dan negara-negara yang
mengadakan modernisasi.
Lebih
lanjut, Schoorl menyatakan bahwa negara sedang berkembang sebagai obyek
penelitian. ia menyajikan perbedaan keadaan yang berpengaruh atas pola dan
profil perkembangan di dunia ketiga dengan mengulas semua aspek dari sudut
pandang negara maju atau negara barat. Hubungan antara negara sedang berkembang
dengan negara maju merupakan pergaulan dunia yang membutuhkan semacam aturan
mengnai relasi antar negara. Dalam pergaulan antarnegara orang bertolak dari
ideal, bahwa semua negara itu sama kedudukannya dan sama haknya, tanpa
mengingat besarnya dan kekayaannya. Namun terdapat ketidaksamaan yang memainkan
peranan penting dalam relasi antar negara itu. Ketidaksamaan yang nyata dalam
relasi tersebut dalam sosiologi dilihat sebagai perbedaan kekuatan, artinya
perbedaan kemungkinan untuk mempengaruhi tingkah laku pihak lain. Adapun yang
menjadi dasar kekuatan dalam hubungan internasional ialah perbedaan dalam hal
pengetahuan, kehormatan, posisi yang dicapai, dan sarana kekuatan militer.
.Di
lain pihak, Schoorl memandang modernisasi yang lahir di barat akan
cenderung ke arah westernisasi, memiliki tekanan yang kuat meskipun unsur-unsur
tertentu dalam kebudayaan asli negara ketiga dapat selalu eksis, namun
setidaknya akan muncul kebudayaan barat dalam kebudayaanya.
Beberapa
kelemahan pandangan mengenai konsep modernisasi tentang kemanusiaan:[10]
1. Keterlibatan negara berkembang
diabaikan, konsep persamaan hak dan keadilan sosial (negara maju-berkembang)
tidak menjadi sesuatu yang penting untuk dibicarakan.
2. Modernisasi yang mendasarkan pada
penggunaan iptek pada organisasi modern tidak dapat diikuti oleh semua negara.
3. Tidak adanya indikator sosial pada
modernisasi.
4. Keberhasilan negara barat dalam
melakukan modernisasi disebabkan oleh kekuasaan kolonial yang mereka miliki
sehingga mampu mengeruk SDA dengan dari negara berkembang dengan murah dan
mudah. Modernisasi= neokolonialisme. Negara maju= serigala berbulu domba.
Konsep
modernisasi gagal dalam mengantisipasi kelemahan-kelemahan tersebut, pendekatan
yang selalu berorientasi pada iptek mengasumsikan bahwa masalah kemanusiaan
dapat diatasi dengan menggunakan iptek tersebut. pendekatan ini sangat
kontraproduktif dimana tekanan penggunaan iptek pada industri adalah “padat
modal”. Industri yang berbasis iptek tersebut memerlukan TK yang sedikit namun
dengan kualifikasi yang sangat tinggi. Kondisi yang tidak mungkin terdapat pada
negara berkembang dengan jumlah naker melimpah namun kualifikasi yang ada sangat
rendah. Negara berkembang lebih cocok dengan industri yang menggunakan konsep
“padat karya”. Bukti kegagalan pendekatan iptek semata adalah vietnam yang
mampu memenangi peperangan dengan USA menggunakan taktik gerilya.
D.
Sosiologi Modernisasi dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia
Pembangunan
yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia selama ini juga tidak lepas dari
pendekatan modernisasi. Asumsi modernisasi sebagai jalan satu-satunya dalam
pembangunan menyebabkan beberapa permasalahan baru yang hingga kini menjadi
masalah krusial Bangsa Indonesia. Penelitian tentang modernisasi di Indonesia
yang dilakukan oleh Sajogyo (1982) dan Dove (1988). Kedua hasil
penelitian mengupas dampak modernisasi di beberapa wilayah Indonesia. Hasil
penelitian keduanya menunjukkan dampak negatif modernisasi di daerah pedesaan,
sebagai berikut;[11]
1. Dove dalam penelitiannya membagi
dampak modernisasi menjadi empat aspek yaitu ideologi, ekonomi, ekologi dan
hubungan sosial. Contoh di daerah Sulawesi Selatan. Penelitian Dove menunjukkan
bahwa modernisasi yang terjadi pada Suku Wana telah mengakibatkan tergusurnya
agama lokal yang telah mereka anut sejak lama dan digantikan oleh agama baru.
Modernisasi seolah menjadi sebuah kekuatan dahsyat yang mampu membelenggu
kebebasan asasi manusia termasuk di dalamnya kebebasan beragama. Pengetahuan
lokal masyarakat juga menjadi sebuah komoditas jajahan bagi modernisasi.
Pengetahuan lokal yang sebelumnya dapat menyelesaikan permasalahan masyarakat
harus serta merta digantikan oleh pengetahuan baru yang dianggap lebih superior.
Dove mengulas lebih jauh kegagalan modernisasi sebagai akibat benturan dua
budaya yang berbeda dan adanya kecenderungan penghilangan kebudayaan lokal
dengan nilai budaya baru. Budaya baru yang masuk bersama dengan modernisasi.
2. Sajogyo justru kemudian membahas
proses modernisasi di Jawa yang menyebabkan perubahan budaya masyarakat.
Masyarakat Jawa dengan tipe ekologi sawah selama ini dikenal dengan “budaya
padi” menjadi “budaya tebu”. Perubahan budaya ini menyebabkan perubahan pola
pembagian kerja pria dan wanita. Munculnya konsep sewa lahan serta batas
kepemilikan lahan minimal yang identik dengan kemiskinan menjadi berubah. Pola
perkebunan tebu yang membutuhkan modal lebih besar dibandingkan padi
menyebabkan petani menjadi tidak merdeka dalam mengusahakan lahannya. Pola
hubungan antara petani dan pabrik gula cenderung lebih menggambarkan
eksploitasi petani sehingga semakin memarjinalkan petani.
Modernisasi
yang terlalu mengedepankan budaya Barat sebagai patokan untuk membangun
masyarakat, telah melupakan nilai-nilai kultural masyarakat dan menganggap
kultur masyarakat sebagai penghambat pembangunan bahkan sebagai faktor yang
menyebabkan keterbelakangan masyarakat Indonesia. Pada kenyataannya, masyarakat
Indonesia semakin terbelakang bahkan semakin carut-marut akibat masuknya
budaya-budaya asing yang menghancurkan indegenous knowledge masyarakat
lokal. Pemerintah secara sepihak telah memutuskan bentuk pembangunan yang
dilakukan di Indonesia tanpa melibatkan masyarakat sebagai bagian dari
pembangunan. Dalam hal ini, oleh pemerintah masyarakat dijadikan obyek
pembangunan bukan sebagai subyek pembangunan sehingga masyarakat tidak pernah
dilbatkan secara langsung.
Pemerintah
selalu menganggap kondisi masyarakat adalah sebuah kondisi yang harus mendapat
pembenahan. Ternyata pembenahan yang dilakukan pemerintah terkadang menjadi
negatif setelah dilaksanakan pada masyarakat yang memiliki nilai kultural yang
bertolak belakang dengan program pembangunan pemerintah. Dampak yang ada di
masyarakat sebagai akibat dari pembangunan, yang tidak jarang berdampak
negatif, di jelaskan oleh penulis sebagai sebuah biaya yang harus menjadi
tanggungan masyarakat dari pelaksanaan pembangunan dan modernisasi yang
dilakukan oleh pemerintah.
Berikut
dampak positif dan negatif modernisasi yang terjadi;[12]
a). Dampak Positif
a Perubahan Tata Nilai dan Sikap; Adanya
modernisasi dan globalisasi dalam budaya menyebabkan pergeseran nilai dan sikap
masyarakat yang semua irasional menjadi rasional.
b Berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat
menjadi lebih mudah dalam beraktivitas dan mendorong untuk berpikir lebih maju.
c
Tingkat Kehidupan yang lebih Baik; Dibukanya industri yang
memproduksi alat-alat komunikasi dan transportasi yang canggih merupakan salah
satu usaha mengurangi penggangguran dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
b). Dampak Negatif
a Pola
Hidup Konsumtif; Perkembangan industri yang pesat membuat penyediaan barang
kebutuhan masyarakat melimpah. Dengan begitu masyarakat mudah tertarik untuk
mengonsumsi barang dengan banyak pilihan yang ada.
b Sikap
Individualistik; Masyarakat merasa dimudahkan dengan teknologi maju membuat
mereka merasa tidak lagi membutuhkan orang lain dalam beraktivitasnya. Kadang
mereka lupa bahwa mereka adalah makhluk sosial.
c
Gaya Hidup
Kebarat-baratan; Tidak semua budaya Barat baik dan cocok diterapkan di
Indonesia. Budaya negatif yang mulai menggeser budaya asli adalah anak tidak
lagi hormat kepada orang tua, kehidupan bebas remaja, dan lain-lain.
d Kesenjangan
Sosial; Apabila dalam suatu komunitas masyarakat hanya ada beberapa individu
yang dapat mengikuti arus modernisasi dan globalisasi maka akan memperdalam
jurang pemisah antara individu dengan individu lain yang stagnan. Hal ini
menimbulkan kesenjangan sosial.
KESIMPULAN
Pembangunan
juga dapat diartikan sebagai suatu upaya terkoordinasi untuk menciptakan
alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk memenuhi
dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi, sedangkan pembangunan dalam
sosiologi adalah cara menggerakkan masyarakat untuk mendukung pembangunan dan
masyarakat adalah sebagai tenaga pembangunan, dan dampak pembangunan.
Pendekatan sosiologi modern
cenderung mikro (lebih sering
disebut pendekatan empiris). Artinya, perubahan masyarakat dapat dipelajari
mulai dari fakta sosial demi fakta sosial yang muncul. Berdasarkan fakta sosial
itu dapat ditarik kesimpulan perubahan masyarakat secara menyeluruh. Sejak saat
itulah disadari betapa pentingnya penelitian (research) dalam sosiologi.
Teori Modernisasi berasal dari dua teori dasar yaitu teori pendekatan
psikologis dan teori pendekatan budaya.
Modernisasi menjadi rujukan utama
oleh negara dunia ketiga dan dianggap sebagai satu-satunya jalan menuju
kesejahteraan seperti yang telah dialami oleh negara dunia kedua. Namun, konsep
modernisasi ternyata mempunyai beberapa kelemahan apabila diterapkan di negara
dunia ketiga. Perbedaan budaya merupakan salah satu faktor pembeda yang utama
antara negara dunia kedua dan ketiga.
Pembangunan yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Indonesia selama ini juga tidak lepas dari pendekatan modernisasi. Modernisasi
yang terlalu mengedepankan budaya Barat sebagai patokan untuk membangun
masyarakat, telah melupakan nilai-nilai kultural masyarakat dan menganggap
kultur masyarakat sebagai penghambat pembangunan.
Berbagai
ulasan tentang modernisasi yang telah disajikan di depan membawa kita pada
pertanyaan akhir yang layak untuk didiskusikan. Modernisasi masih bisakah
dipertahankan sebagai perspektif pembangunan bangsa kita. Perbaikan-perbaikan
konsep modernisasi yang diselaraskan dengan budaya serta pengetahuan lokal
masyarakat akan menjadi sebuah konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan
dan kemanusiaan.
[2] Hann Tan, Joe dan Topatimasang. Mengorganisira Rakyat. (Yogyakarta;
SEAPCP & ReaD. 2003). Hlm. 89
[3] Schoorl, J.W. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan
Negara-Negara Sedang Berkembang. (Jakarta; PT. Gramedia. 1980). Hlm. 59
[4] Schoorl, Ibid; hlm. 89
[6] Schoorl. Op. Cit; hlm. 92
[7] Sajogyo. Modernization Without Development. (Bacca, Bangladesh;
The Journal of Social Studies. 1982). Hlm. 40
[9] Ibid;
Hlm. 98
[11] Sajogyo, Op.Cit; Hlm.
124
[12] Suryaningrum, Bayu. Perumusan Kebijaksanaan Pembangunan di
Indonesia. (Jakarta; PT. Bina Aksara. 1998). Hlm. 126
0 komentar:
Posting Komentar