Tulis |
“Pena wartawan lebih tajam dari peluru tentara”,
adalah pribahasa yang hingga kini barangkali kerap mendasari munculnya kekuatan
pers dalam mengungkap kasus, hal ini juga
mendasari hadirnya sikap curiga kekuasaan yang dimiliki pers. Padahal pers
bebas dan merdeka adalah salah satu syarat mutlak terpenuhinya tegaknya sistem
demokrasi, mengapa pers malah dicurigai? Setidaknya pers pun perlu untuk
mengoreksi diri. Pers selayaknya menjaga kebebasan yang dimilikinya dengan
tidak bertindak kebablasan.
Harus diakui banyak kritik yang datang atas
kebebasan pers di Indonesia karena pers kita yang sering bertindak terlalu
liberal seperti Amerika serikat. Banyak tokoh
pers nasional mengungkapkan kekhawatirannya itu. Tjipta Lesmana (2005)
misalnya mengatakan dalam era reformasi yang penuh euphoria kebebasan
terjadi kecenderungan pada sementara wartawan kita untuk bersikap arogan. Mereka selalu
menonjolkan kebebasan daripada tanggungjawab sosial. Tarman Azzman (2005),
mengatakan munculnya sikap arogansi sebagian komunitas pers yang benar benar terkesan
betapa sangat bebasnya pers Indonesia melebihi kebebasan pers di Amerika
Serikat, Australia,
Jepang dan Eropa Barat sekalipun. Pengacara OC Kaligis (2005) juga ikut memberikan
catatan khusus tentang kebebasan pers di Indonesia. Menurutnya situasi kebebasan pers
sekarang kiranya sama dengan situasi pada masa transisi di Amerika Serikat. Kebebasan yang
yang tidak bisa lepas dari kepentingan kepentingan politik, kelompok atau orang-orang
tertentu.
Tak sedikit angin segar kebebasan pers,
membuat beberapa media menyajikan informasi cenderung lepas dan tidak
terkontrol, membungkus berita kritik dan pengungkapan kasus kejahatan birokrat,
dan politikus dengan membalikan media
dengan penyajian yang tanpa disadari atau pun disadari hanya merusak citra pers
dengan menyembunyikan fakta, mengurangi informasi dan membesar-besarkan
informasi yang membodohi, tidak bernilai dan tidak berkepentingan bagi
masyarakat.
Pers seakan perlu menanamkan pengertian
bahwa kebebasan adalah ketakbebasan. Memang dalam era reformasi, pers nasional
bebas memberitakan apa saja, bahkan mengkritik pemerintahan dengan keras. Para
wartawan sama sekali tidak takut dengan pemerintah. Kini tidak lagi sama, sejak
keberadaan Undang Undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers telah mengamatkan
kebebasan mutlak. Dengan artian kemerdekaan pers itu harus bebas dan bertangung
jawab. Lahirnya undang-ndang tersebut merupakan landasan legal bagi media dalam
memberitakan segala hal, termasuk mengkritik negara, kontrol sosial, pendidikan
dan sebagainya. Sehingga dapat dikatakan pers memiliki beban moril dengan
menjaga kepercayaan, bekerja profesional berdasarkan kode etik yang dibuat
bersama oleh dewan pers dan seluruh elemen kewartawanan dan media.
Tetapi coretan kuli tinta itu tetap
menjadi primadona masalah dikalangan para penguasa, tetap dicurigai dan tetap
menjadi momok yang menakutkan bagi penguasa yang menyimpan bangkai. Tak ayal
para penjabat orde baru kerap menunding pers memperaktikan “jurnalisme alkohol”
maksud mereka pers itu menulis dengan gaya orang mabuk, suwenak nye dewek. Sehingga dengan mudah mereka membungkam media yang kritis.
Seperti pada kasus pemberedelan Detik, tempo, dan Editor beberapa tahun yang
silam. Juga dibuatnya berbagai macam produk perundang-undangan yang dimaksud
dapat menekan atau dalam artian mengancam kebebasan pers dalam mengungkap borok
pemerintah. Contohnya saja kasus korupsi yang dinilai sistemik dengan
bersembunyi dibalik bayang-bayang undang-undang atau alasan kebijakan
pemerintah. Semua itu sama dekali tidak membuat nyali kuli tinta itu takut,
malah membuat pers harus bekerja ekstra hati-hati dan profesional dalam meliput
kasus-kasus korupsi. Pers yang telah menjadi pilar demokrasi, ini bukan soal
menang atau kalah, tetapi tentang benar atau salah.
Sepanjang yang bisa diamati, praktek
tindak kejahatan korupsi sudah begitu meruak di Indonesia. Begitu parahnya, sampai timbul anggapan di
masyarakat sebagai praktik yang lumrah. Masyarakat sudah begitu jenggah
menonton pemberitaan penjabat ini itu yang sedang terlibat kasus korupsi. Namun
lagi-lagi bahwa kebebasan pers telah ikut berperan bagi tegaknya demokrasi dan
pemerintah yang bersih. Dengan adanya pers masyarakat dapat mengetahui apa saja
kelakuan penguasa negaranya karena sorotan pers yang tak hentinya berjuang
membongkar berbagai penyimpangan yang dilakukan para pemegang kekuasaan itu.
Sebenarnya tidak selayaknya pers itu senantiasa di curigai, ditakuti atau
bahkan dimusuhi praktik kerjanya, karena
pers yang kritis dan profesional memang harus dapat menyentuh jantung
pemberitaan, bukan membahas etik atau tidak etik atau patut tidak patutnya,
salah satu hal yang paling bahaya bagi pers adalah menyensor diri sendiri yakni
tidak menerbitkan pemberitaan yang mereka rasa mengancam medianya. Untuk itu
beginilah kerjanya, pers harus kuat dengan segala macam ancaman. Para objek
liputan pers sendiri yang memiliki masalah sehingga mengangap pers seperti
hantu yang menakutkan yang pada waktunya membongkar kedoknya, untuk menghindari
itu semua dengan berbagai cara mereka berusaha menerapkan berbagai pembatasan
baru terhadap pers. Kalau saja objek pemberitaan itu berlaku baik, benar dan
tidak menyeleweng dalam menjalankan wewenangnya baik di pemerintahan atau pun
swasta, pastilah mereka adem anyem.
Menurut amatan, pers nasional kita
masih begitu banyak masalah dihadapi, namun jalan keluar terbaik bukanlah
dengan menerapkan pembatasan yang membuat ruang gerak pers menyempit. Dengan
kebebasan pers, berbagai gerakan didunia mendapat dukungan pers. Tanpa kebebasa
pers, mungkinkah pemeritah pusat mendeteksi secara tepat kasus busung lapar,
warga lapisan kebawah, tidak terjamahnya pendidikan, bencana alam, berbagai
kecelakaan dan tragedi-tragedi kemanusiaan lain yang terjadi diseluruh plosok
indonesia. Jadi pers tidak hanya menyorot kasus korupsi para birokrat, yang
hanya gara-gara ulah iblis penguasa, kebebasan pers kena imbasnya. Seharusnya para
penguasa negeri dan pers bekerja sama demi tegaknya negara yang demokrasi dan
bersih dari KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Bukan malah di musuhi.
0 komentar:
Posting Komentar