CORAK
RAGAM KEBUDAYAAN SUMATERA SELATAN
Pagi itu, minggu (26/12/10) pukul 08.30
wib aku melangkahkan kaki pergi menuju kampus tercinta, IAIN (Institut Agama
Islam Negeri) Raden Fatah Palembang. Pesan singkat terus mendatangi handphoneku
lantaran teman-teman sudah banyak yang berkumpul. Sesampai disana kami
masih harus menunggu karena dua teman lagi masih belum datang. Setelah sekian
lama menunggu, kami pun berangkat dengan menaiki kendaraan umum
trayek km 5.
Kami berangkat ke Museum Bala
Putra Dewa Palembang yang berkaitan dengan salah satu mata kuliah kami,
sosiologi. Dalam sebutanku kami mengadakan study lapangan. Tepat pukul 09.00
wib kami sampai di museum, dalam perjalanan pun ada kejadian mengelikan dan
setidaknya awal mencairkan suasana, tempat tujuan kami kelewatan padahal salah
satu teman kami menyadari itu (si Heru). Alhasil mobil yang kami tumpangi putar
arah. Di museum, kami tidak langsung masuk karena Dosen pembimbing, Ibu Nuraini
dan beberapa teman yang pergi sendiri-sendiri belum datang (R.Elysa dan Ummy K).
Akhirnya kami isi kekosongan itu dengan mengobrol, ambil foto (Kipti, Vitri,
Hikmah, Meri, Detri, Siti A, termasuk saya) dan ada teman yang mengisi perutnya
dengan jajanan syomai (habi2, si Imed, Iwan dst).
Sekitar pukul 10.00 wib kami memulai penjelajahan kami di dalam
museum dengan didampingi seorang Bapak yang berkerja sebagai karyawan museum
dan Ibu Nuraini sebagai pengawas kami. Awalnya kami dikenali dahulu tentang
sejarah singkat berdirinya Museum Bala Putra Dewa, museum ini dibangun pada
tahun 1977 dengan arsitektur tradisional Palembang dan diresmikan pada tanggal
5 Nopember 1984. Pada mulanya museum ini bernama museum Negeri Propinsi
sumatera Selatan, selanjutnya berdasarkan SK. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
tanggal 4 April 1990, Museum ini diberi nama Museum Negeri Propinsi Sumatera
Selatan "Bala Putra Dewa" Nama Bala Putra Dewa itu sendiri berasal
dari nama seorang raja Sriwijaya yang memerintah pada abad VIII-IX yang
mencapai kerajaan maritime.
Setelah pengenalan museum, kami diajak keliling museum dengan
memasuki berbagai ruang tempat berkumpulnya berbagai macam peninggalan dan
miniatur benda bersejarah. Di Museum ini terdapat koleksi-koleksi yang
menggambarkan corak ragam kebudayaan dan alam sumatera Selatan. koleksinya
terdiri dari berbagai benda histografi, etnografi, felologi, arca, keramik,
teknologi modern, seni rupa dan fauna serta geologi. Dari berbagai ruang yang
kami masuki, ruang yang paling berkesan dimataku adalah ruang “Galeri Malaka”
sesuai dengan namanya malaka tentu masih bersangkutan dengan negara tetanga
kita yang kebanyakan orang sebut sebagai musuh bubuyutan karena banyak
memakan korban TKI (Tenaga Kerja Indonesia) dan meng-klaim kebudayaan Indonesia
yakni Malaysia, menurutku semua itu tidak sepenuhnya kesalahan warga Malaysia.
Setidaknya kita perlu mengoreksi pribadi Indonesia itu sendiri ketika
pengiriman TKI dan soal klaim-mengklaim ada kewajaran juga karena bukti diruang
ini terdapat sejarah hubungan negara Indonesia dengan Malaysia khususnya pada
zaman kerajaan dahulu, sehingga ada saja beberapa kebudayaan kita yang berkembang
di Malaysia sampai saat ini sehingga menimbulkan salah pengertian dari warganya
sendiri. Agar tidak kehilangan momen, kami sempat-sempatkan untuk mengambil
gambar peningalan benda-benda bersejarah itu.
Setelah
puas dengan pengenalan peningalan bersejarah diberbagai ruang tersebut, kami
diajak ke sebuah tempat yang paling aku tunggu-tunggu yakni ke Rumah
tradisional masyarakat Palembang
disebut dengan ’Rumah Limas’. Rumah Limas merupakan prototipe rumah tradisional
Palembang. Selain ditandai dengan atapnya yang berbentuk limas, rumah
tradisional ini memiliki lantai bertingkat tingkat yang disebut Bengkilas dan
hanya dipergunakan untuk kepentingan keluarga seperti hajatan. Para tamu
biasanya diterima diteras atau lantai kedua. Rumah limas asli luasnya mencapai
400 sampai 1000 m3 atau lebih, yang didirikan diatas tiang-tiang
dari kayu unglen atau ulin yang kuat. Setiap rumah terutama dinding dan pintu
diberi ukiran. Kamar-kamar tidur terletak di sisi kiri dan kanan berhubungan
dengan dinding luar, sedangkan bagian belakang rumah berfungsi sebagai dapur. Rumah limas Palembang merupakan rumah panggung
yang bagian kolongnya merupakan ruang positif untuk kegiatan sehari-hari, seperti acara menumbuk
padi.
Ketinggian lantai panggung dapat mencapai ukuran 3 meter.
Selain terdapat rumah
limas, tidak jauh dari rumah limas terdapat pula rumah Ulu asli, kami pun menyempatkan
untuk melihat dari sisi dalamnya karena uniknya rumah ini berlantai bambu yang
tersusun jarang. Tiang-tiangnya pun tidak tertanam ke tanah. Untuk memasukinya
kami sangat berhati-hati takut lantainya jebol karena rumah ini sudah
berusia ratusan tahun. Alhasil ketakutan kami pun sirna setelah memasuki rumah
ini karena rumah ini terlihat masih lumayan kuat.
Perjalanan kami
mengelilingi Museum Bala Putra Dewa pun selesai, Ibu Nuraini membimbing kami
melanjutkan acara dengan diskusi. Kebudayaan masa lalu benar-benar harus kita
hargai karena tanpa adanya kebudayaan dari peninggalan terdahulu, maka tidak
akan mungkin kita dapat menemui berbagai macam peralatan modern pada masa
sekarang karena berkat kebudayaan terdahululah, itu menjadi inspirasi awal kita
dalam membangun negeri ini. Setelah acara diskusi selesai Ibu Nuraini segera
meninggalkan kami. (sepertinya terburu2, *ngak sempet foto deh)
Lalu dengan perasaan lega
kami meninggalkan Museum Bala Putra Dewa, ada beberapa teman yang masih ingin
pergi jalan lagi kepasar, ada yang entah mau kemana, sedangkan aku dan beberapa
temanku memilih langsung pulang kerumah saja. Tatapi rasanya masih ada yang
kurang pada kunjunganku ke museum itu, ternyata kami lupa menanyakan nama Bapak
yang mendampingi kami di museum tadi. Rasa penyesalan pun hinggap di hatiku,
terima kasih Bapak X telah mendampingi kami dalam memberikan informasi dan
mengenalkan berbagai hal di Museum Bala Putra Dewa.
*semoga perjalananku bermanfaat ^_~,
*semoga perjalananku bermanfaat ^_~,
0 komentar:
Posting Komentar