Rasa cinta yang besar
Bisakah seseorang yang tidak pernah bertemu Nabi, tidak pernah
bercakap-cakap langsung, termasuk golongan orang yang penting sekali?
Bisa. Bahkan, dalam kisah ini, Umar bin Khattab dan Ali, dua sahabat
yang tidak perlu diragukan lagi kualitasnya, meminta di doakan dan
istigfar dari seseorang ini. Dan Nabi sendiri menyebutnya dengan, 'Dia
bukan orang bumi, dia penghuni langit"
Lantas apa yang telah dilakukannya? Apakah sesuatu yang besar, dahsyat
yang telah dilakukannya hingga memperoleh posisi begitu mulia? Apakah
dia menyebar ilmu ke seluruh dunia? Panglima perang? Atau berbuat baik
dengan berinfaq setinggi gunung emas? Bukan. Tidak sama sekali. Dia
mendapat derajat itu hanya karena cinta.
Here we go, akan saya ceritakan kisahnya.
Dia adalah Uwais Al Qarni. Pemuda sederhana yang tinggal di negeri
Yaman. Uwais adalah pemuda miskin, pekerjaannya menggembalakan domba,
dari upahnya tersebut, dia bisa menafkahi hidup, termasuk membantu
tetangga yang juga sama miskinnya. Hidupnya terlalu simpel, terlalu
biasa, hingga luput dari perhatian orang banyak, kalau dia punya tugas
yang penting. Apa tugasnya? Merawat ibunya yang sudah tua. Tidak bosan,
tidak lelah. Merawat ibunya penuh kasih sayang. Pemuda kita ini juga
tentu adalah pemuda yang taat beribadah, rajin, dan siang-malam selalu
menambatkan pengharapan kepada Allah.
Nah, setiap kali ada
rombongan pedagang, atau musafir yang pulang dari Madinah, Uwais selalu
datang untuk mendengarkan cerita2 dari mereka. Uwais ingin mendengar
cerita tentang Nabi, orang2 yang baru bertemu dengan Nabi. Kabar2
tentang Nabi, dsbgnya. Aduhai, ini juga sebuah rahasia kecil milik
Uwais, tidak kepalang rindunya dia ingin bertemu Nabi, cinta sekali dia
kepada Rasul Allah. Ibarat ingin melihat kekasih hati, tidak terbilang
keinginan itu. Menumpuk tinggi, menjulang cintanya. Pernah ada rombongan
yg membawa kabar tentang perang Uhud, bahwa gigi Nabi patah dilempari
batu oleh musuh2nya. Sedih sekali Uwais ini, dia mengambil batu, lantas
mematahkan giginya sendiri, agar bisa merasakan rasa sakit orang yang
amat dia cintai tersebut. Boleh jadi menurut kebanyakan orang itu
tindakan 'gila', tapi Uwais melakukannya karena cinta Nabi-nya.
Berbilang minggu, bulan dan tahun berlalu, akhirnya kesempatan itu
datang. Ibunya yang tua sedang dalam kondisi sehat, dan dia memperoleh
ijin dari Ibunya untuk bisa pergi ke Madinah, bertemu dengan Rasul
Allah. Pesan Ibunya simpel: segera pulang kalau sudah selesai urusan di
Madinah. Maka, setelah menyiapkan keperluan untuk Ibunya, menitipkan
Ibunya, Uwais berangkat ke Madinah. Jaman itu, tentu tidak ada pesawat,
mobil, dsbgnya. Perjalanan ditempuh susah payah, berhari2 hingga tiba di
Madinah.
Sudah semangat sekali Uwais ingin bertemu Nabi, dia
segera bertanya di mana rumah Nabi, bergegas menuju rumah Nabi--mungkin
berlari pontang panting, tersengal, tapi sayang seribu sayang, Nabi
sedang pergi ke medan perang. Aduhai, bagaimanalah ini? Itu situasi yang
tentu bagi kebanyakan orang amat mengecewakan, setelah semua kerinduan,
setelah semua yang telah dia lakukan. Apakah dia harus menunggu Nabi
pulang? Sedangkan Ibunya tertinggal jauh di Yaman, tiada yang
merawatnya. Bagaimana ini?
Maka dengan keputusan berat, Uwais
memutuskan segera pulang ke Yaman. Itu mungkin momen cinta paling
spesial yang pernah ada di muka bumi. Ketika Uwais meluruhkan semua
rindu, pulang. Momen cinta yang sungguh, bukanlah momen cinta 'murahan'
seperti hari ini. Uwais cinta kepada Rasul Allah melebihi siapapun di
muka bumi, bahkan dirinya sendiri, tapi dia harus pulang merawat Ibunya.
Ada skala prioritas, ada logika. Dan mungkin saja, Nabi akan marah
kalau dia ngotot bertemu dengan Nabi, tapi mengorbankan Ibunya.
Uwais pulang. Membawa cintanya pulang.
Berselang waktu, Nabi juga pulang dari medan perang, di rumah, dia
berkata kepada Aisyah, ada pemuda yang mencarinya saat pergi, pemuda
yang taat pada ibunya, pemuda itu penghuni langit. Aisyah dan para
sahabat tertegun. Aisyah bilang, itu benar, memang ada pemuda dari Yaman
yang datang, tapi bergegas pulang. Rasul Allah menatap Umar dan Ali
yang ada di sana, berkata, suatu ketika, jika kalian bertemu dengannya,
mintalah doa dan istigfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan orang
bumi.
Itu tentu kalimat yang amat menakjubkan, keluar dari Rasul Allah.
Waktu melesat cepat. Rasul Allah sudah wafat, Abu Bakar sudah
digantikan Umar sebagai khalifah. Umar dan Ali selalu ingat kalimat
Rasul Allah tersebut. Maka setiap kali ada rombongan dari Yaman yang
datang, mereka bertanya, apakah ada yang bernama Uwais Al Qarni. Orang2
yang ditanya merasa heran, siapalah si Uwais ini? Bahkan khalifah
bertanya soalnya. Tidak terbilang rombongan datang, silih berganti,
hingga akhirnya, ada sebuah rombongan yang saat ditanya apakah ada Uwais
Al Qarni bersama kalian, dijawab iya.
Itu benar, ada Uwais di
sana, Ibu Uwais telah meninggal dunia, dan sekarang Uwais bisa
berangkat. Umar dan Ali segera menemui orang yang dimaksud. Orang yang
sedang mengurus unta2 rombongan, karena memang dia tetaplah sederhana,
bersahaja. Khalifah Umar bertanya, siapa nama kamu--memastikan. Uwais
menjawab pendek, Abdullah. Umar mengangguk, bilang, kami juga Abdullah,
hamba Allah. Tapi siapakah nama kamu yang sebenarnya. Uwais menyebut
namanya. Umar dan Ali juga bisa melihat tanda di Uwais yang diberikan
oleh Rasul Allah sebelumnya.
Nah, itu juga momen yang
mengharukan milik Uwais, saat Umar dan Ali meminta doa dan istigfar
kepadanya. Bagaimana mungkin Khalifah minta didoakan orang biasa
sepertinya. Uwais menggeleng, bilang, justeru dialah yang harus meminta
doa kepada sahabat2 terbaik Rasul Allah. Umar dan Ali terus mendesak,
dan karena itu perintah Rasul Allah, maka Uwais akhirnya mendoakannya.
Pertemuan itu ditutup dengan permintaan Uwais yang bilang, hamba mohon,
cukup hari ini saja hamba diketahui banyak orang. Biarlah hamba yang
fakir ini tidak diketahui orang lagi.
Waktu melesat lagi dengan
cepat. Ketika Uwais wafat di negeri Yaman, meski dia adalah fakir,
tidak terkenal, tidak dikenal, penguburannya adalah salah-satu yang
ramai dikunjungi banyak orang. Orang2 menggali makam, orang2 yang
menshalatkan, orang2 yang mengantar, orang2 yang mendoakan--entah siapa
orang2 tersebut. Kalimat Rasul Allah benar, Uwais bukan orang bumi, dia
adalah penghuni langit, karena rasa cintanya yang besar, rasa cintanya
yang luar biasa kepada Rasul Allah dan Ibunya.
Mungkin cerita ini bisa membuat kita semua mendefinisikan ulang mana cinta yang sebenarnya. Semoga begitu.