السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَنْعَمَنَا بِنِعْمَةِ اْلإِيْمَانِ
وَاْلإِسْلاَمِ. وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى
اَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ أَمَّا بَعْدُ
Di antara surat yang
agung kedudukannya yang sering terdengar pada pendengaran kita, dan membutuhkan
perenungan dan tadabbur adalah surat Al-Ma’un. Allah SWT berfirman:
Artinya: (1) Tahukah
kamu (orang) yang mendustakan agama?
(2) Itulah orang yang menghardik anak yatim.
(3) dan tidak menganjurkan memberi makan
fakir miskin
(4) maka celakalah bagi orang yang sholat
(5) (yaitu) orang-orang yang lalai dari
sholatnya,
(6) orang yang berbuat riya,
(7) dan enggan (menolong dengan) barang yang
berguna.
Surah ini diawali dengan kalimat
tanya untuk menarik perhatian pembacaanya. Kemudian Allah SWT sendiri
yang menjawab pertanyaan tersebut satu per satu. Tujuanya ialah agar pembaca
benar-benar memperhatiakn dan meresapi makna yang terkandung di dalamnya. Biasanya
setiap ayat yang didahului dengan pertanyaan mengandung nilai yang sangat
penting untuk segera dipahami dan diamalkan. Pertanyaan yang paling prinsipil
ialah “siapakah pendusta agama?“1 maka jawabanya segera disusul
setelah pertanyaanya.
Beragama
dalam surah Al-Ma’un tidak selau identik dengan kesalehan dan ketakwaan.
Beragama dan melakukan ritual-ritual agama tidak selalu menjadikan seseorang
bisa dipercaya dan membawa amanah. Wacana besar yang dibawa surah ini
adalah membalik semua itu dengan mengatakan bahwa kalangan orang beragama itu
“ada pendusta agama”. Orang yang haji dan shalatnya rajinpun bisa jadi
adalah pendusta agama.
Surah
Al-Ma’un ini juga membawa pesan: betapa pentingnya keterlibatan sosial dan
pembelaan sosial kepada masyarakat miskin, minoritas, dan pentingya membela
ketidakadilan. Jelas sekali bahwa surat ini memberikan petunjuk bahwa kesalehan
ritual tidak menjadi bermakna tanpa kesalehan sosial. Paling tidak menyatakan
tiga hal yang patut disimak dalam surat ini.
1.
Ayat tersebut
tidak berbicara tentang kewajiban ”memberi makan” orang miskin, tapi berbicara
”menganjurkan memberi makan”3.
Itu berarti mereka yang tidak memiliki kelebihan apapun dituntut pula untuk
berperan sebagai ”penganjur pemberi makanan terhadap orang miskin” atau dengan
kata lain, kalau tidak mampu secara langsung, minimal kita menganjurkan
orang-orang yang mampu untuk memperhatikan nasib mereka. Peran ini sebenarnya
bisa dilakukan oleh siapapun, selama mereka bisa merasakan penderitaan orang
lain. Ini berarti pula mengundang setiap orang untuk ikut merasakan penderitaan
dan kebutuhan orang lain, walaupun dia sendiri tidak mampu mengulurkan bantuan
materiil kepada mereka.
Anak-anak yatim dan faqir miskin adalah bagian dari kelompok masyarakat yang
sangat dicintai oleh Rusulullah SAW, bahkan dalam sebuah hadits dinyatakan (
Rusuluallah ) sangat dekat dengan mereka. Perhatian mereka sangat diutamakan,
sebagaimana tersebut dalam sebuah ayat:
“Tentang
dunia dan akhirat. dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah:
"Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul
dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu; dan Allah mengetahui siapa yang
membuat kerusakan dari yang Mengadakan perbaikan. dan Jikalau Allah
menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Baqarah:
220).
2.
Sholat adalah ibadah yang paling
utama yang diperintahkan dalam syareat Islam. Dengan melaksanakanya secara baik
dan benar akan menimbulkan pengaruh positif yang sangat besar dalam aspek
kehidupan. Di akhirat pun merupakan amaliah yang paling utama yang memperoleh
penilaian dan menjadi tolak ukur semua amal perbuatan. Allah berfirman:
“Dan dirikanlah sholat.sesungguhnya
sholat itu mencegah dari perbuatan –perbuatan keji dan mungkar. (al-ankabut:
45)
Dan
ulama yang lain berkata: Mereka meninggalkan shalat dan tidak pula
menunaikannya. Penafsiran ini datang dari Ibnu Abbas. Dan ada yang berkata:
Mereka adalah orang-orang munafiq yang meninggalkan shalat secara rahasia dan
menjalankannya secara terang-terangan saja.
Yang diterjemahkan dengan
"lalai" atau "lupa" dalam firman itu ialah kata-kata yang
dalam bahasa aslinya (Arab) "sahun".5 Yang dimaksud dalam
firman ini bukanlah mereka itu dikutuk Allah karena lupa mengerjakan shalat
yang disebabkan lupa, misalnya, terlalu sibuk bekerja. Sebab lupa dan alpa
serupa itu justru dimaafkan oleh Allah, tidak dikutuk. Tapi yang dimaksud dalam
firman itu ialah mereka yang menjalankan shalat itu lupa akan shalat mereka
sendiri, dalam arti bahwa shalat mereka tidak mempunyai pengarah apa-apa kepada
pendidikan akhlaknya, sehingga mereka yang menjalankan shalat itu dengan mereka
yang tidak menjalankannya sama saja. Apalagi jika lebih buruk!
3.
Selanjutya
Allah menegaskan bahwa ada sebagian orang yang melakukan amal kebaikan,
termasuk shalat, untuk memperlihatkan amalnya kepada manusia. Tindakan seperti
ini disebut riya’. Sikap riya’ adalah lawan dari ikhlas. Keikhlasan diperlukan
dalam setiap amal kebaikan agar memperoleh pahala yang sempurna dari Allah.
“orang-orang yang berbuat ria. dan enggan
(menolong dengan) barang
berguna”.6-7 Artinya mereka
tidak berbuat ihsan dalam beribadah kepada Tuhan mereka dengan mewujudkan keikhlaskan dalam
beribadah kepada Allah SWT, dan tidak pula berbuat ihsan kepada
makhluk -Nya walaupun dengan memberikan pinjaman barang yang bisa
dimanfaatkan, dan bisa digunakan untuk keperluan tertentu padahal wujud
barang tersebut tetap serta akan dikemblikan kepada mereka selaku pemilik,
seperti meminjam bejana, ember dan parang. Maka orang yang bertipe
seperti ini akan lebih gampang dalam meninggalkan zakat dan ibadah lainnya.
*Hy
0 komentar:
Posting Komentar