Ibu sakit
pik, pulanglah! Begitu
satu-satunya kalimat yang tertera
disana. Mbak Sri menyuruhku pulang? Tapi.... benarkah Ibu sakit?
Bayangan Ibu, dengan penampilannya yang trgar berkelebat.
Rasanya baru kemarin aku masih melihatnya berjalan memberi makan ternak-ternak
kami sendirian. Melalui padang rumput yang luas. Berputar-putar disana
berjam-jam mengawasi rumah kecil kami yang hanya berupa noktah dari balik
bukit.
Tidak. Ibu bahkan tidak kelihatan lelah dimalam hari,
saat semua aktivitas seharian yang menguras kekuatan fisiknya berlalu. Ibu
selalu kelihatan sangat kuat.
Tak hanya kuat, dari mulutnya pun masih kerap terdenga
ungkapan-ungkapan pedas kususnya ditunjukan padaku.
“Jadi perempuan jangan terlalu sering melamun pik!!
Bekerja, itu akan membuat tubuhmu kuat!” komentarnya suatu hari padaku.
Padah saat itu aku sama sekali tidak mengangur. Sebuah
buku berada dipangkuanku. Tapi, Ibu tak pernah menghargai kesukanku membaca. Di
mata beliau, itu hanyalah kegiatan tak berguna yang tak menghasilkan.
Di waktu yang lain Ibu mengecam kebiasaanku rapat
dengan remaja desa. Ibu sama sekali tak mau mengerti kalu rapat yang kulakukan
bukan tanpa tujuan. Bagi wanita sederhana itu, menghalau ternak lebih berguna
daripada bicara panjang lebar, dan adu pendapat.
“kau pakir bicara bisa membuatmu mendapatkan uang!!”
Ingin sekali saat itu aku menganggu dan menantang
matanya yang sinis. (Tak tahukah Ibu dikota sana, banyak sekali pekerjaan
yang mementingkan kemampuan bicara. Seharusnya Ibu melihat kegiatan pemilihan
lurah desa dan tak hanya berkutat dengan ternak-ternak dipadang rumput. Pak
kades takan terpilih kalau ia tak punya kemampuan bicara Bu, kemampuan
meyakinkan dan menenagkan rakyatnya!)
Akan tetapi, kalimat itu anya kutelan dalam hati. Tak
satu pun kumuntahkan padanya.
Caraku berpakaian pun tak pernah benar dimatanya. Ada
saja yang salah, yang tak rapilah, kelihatan kelak-lakianlah, dan segalanya.
Aku heran, kenapa tiga mbakku yang semuanya perempuaan
itu bisa melalui keterpasungan pemahaman Ibu. Mereka bisa seklolah, paling
tidak sampai es em pe dan tak banyak bertengkar dengan Ibu. Lulus sekolah,
menikah dan punyak anak... dan sekali lagi tanpa mengalami pertentangan dengan
Ibu, sedangkan aku?
Dahulu sekali aku pernah mencoba menyenangkan hati
wannita itu. Kucoba memasakan sesuatu untuknya, meski semua saudaraku tahu, aku
benci kegitan dapur itu. Hasilnya? Aku menyesal telah mencoba karna Ibu sama
sekali tak menghargai usahakku.
“beginilah jadinya kalu anak perempuan Cuma bisa
belajar dan belajar. Tak tah bagaimana memasak! Siapa yang mau menikahimu nanti
kalau begini, pik??”
Dan saat itu aku makin tersungkur dalam
ketidakberdayaanku menghadapi Ibu. Perlahan aku malah berhenti berusaha
menenangkan hatinya.
Aku capek, aku bosan, aku aku benci
Maka saat ada kesempatan pergi dari rumah dan
meneruskan pendidikan kebangku kuliah dengan peluang bea siswa, kugempur habis
kemampuanku, agar kesempatan itu tak lepas dari tangan.
Yahhh... aku harus pergi, menjauh dari Ibu dari
komentar-komentarnya yang menyakitkan.
Masih terngiang suara bernada mengejek saat aku
mempersiapkan diri menghadapi tes bea siswa itu.
“kau tak kan berhasil, pik!! Tak usah capek-capek!
Wanita akan kembali kedapur, apa pun kedudukannya!”
Tak kuhiraukan kalimat itu, seperti biasa aku berusaha
menahan diri, setidaknya hingga saat ini dan saat itu aku merasa begitu yakin,
wanita tua yang kupanggil Ibu selama ini, tak pernah dan tak akan pernah
mencintai diriku!.
******
“Pikkk .... kok melamun?”
Aku mengusap air mata yang meniti, nisa yang menagkap
kesedihanku menatapku lekat. Ada nuansa khawatir pada nada suaranya kemudian.
“ada apa? Tulisanmu ada yang ditolak? Mana mungkin!”
ujarnya mencoba melucu.
Aku tertawa pelan mencoa mengurangi beban dihatiku.
Kubalas tatapan matanya. Wajah tulus sahabatku baikku itu memancar dibalik
kerudung cokelat yang dikenakannya.
Aku berdehem berat. “sa... percayakah kamu kalau aku
bilang, ada Ibu yang tak pernah mencintai anaknya?”
Nisa menatapku bingung, pertanyaan ini mungkin aneh
ditelinganya. Apa lagi aku tahu keluarganya adalah keluarga terhangat yang
pernah kutemukan. Ibu nisa tak hanya bijaksana tapi juga selalu melimpahinya
dengan banyak kasih dan perhatian, Jauh sekali bila dibandingkan dengan Ibuku!
“Aku rasa, mencintai adalah naluru yang muncul
otomatis saat seseorang menjadi Ibu, pik! Itu karunia yang Allah berikan rasa
kasih, mengayomi dan melindungi!” jawah Nisa hati-hati
Aku mengalihkan pandangan dari matanya. Kami sudah
tinggal satu kost selama hampir 5 tahun tapi, tak pernah sekalipun aku
bercerita tentang Ibu dan ketidakadilan yang diberikan wanita itu.
Yahhhh... sudah selama 5 tahun juga aku tak pernah
menjenguk Ibu, yahh.. tidak sekali pun! Meski batinku terasa kering. Bagaimana
pun aku punya kasih yang ingin kupersembahkan pada wanita yang telah
melahirkanku itu. Tapi Ibu tak pernah menangkap sinar kasi di mataku, Ibu tak
pernah peduli!
Bagaimana aku tidak mulai membencinya secara perlahan?
Mungkin tidak dalam artian kata benci yang sesungguhnya. Terus terang aku mulai
menghapus namanya dalam kehidupanku. Dalam tahun-tahun yang telah kulalui aku
hanya mengirim surat dan foto pada semua kakak dan keponakanku. Tak satu
pun kulamatkan untuk Ibu. Kalau pun secara rutin kusisihkan uang honar
menulisku untuk Ibu, itu pun tak pernah kukirimkan secara langsung, selalu
lewat salah satu kakakku.
Aku belajar menyingkirkan kebutuhanku akan kasih sayang
dan sikap keibuan darinya. Aku belajar....... melupakan Ibu!!.
Upikk... kenapa kamu menanyakan itu?” suara nisa
kembali terdengar, batinku makin kisruh.
Apa pendapatnya kalu tahu, teman baiknya selama ini
telah melupakan ibunya? Padahal dalam Islam tertera jelas keutamaan untuk
bebakti dan menghormati Ibu.
Bukan aku tak mencintainya tapi sepertinya itu kehendak
Ibu sendiri untuk dilupakan.
“Ibuku sakit, sa! Apa yang harus kulakukan?”
tanyaku tanpa daya.
Nisa tersenyum, “itu aja kok bingung! Barang kali
dia kagen padamu. Tengoklah Ibu, pik! Eh... kapan terakhir kali kalian bertemu?”
“aku tak pernah pulang, sa. Sudah lima tahun!”
Jawabanku membuat Nisa tersedat. Pantas ia kaget 5
tahun bukan waktu yang singkat.
“kamu harus pulang secepatnya, pik. Biar aku yang
memesan tiket kereta, dan jangan lupa bawa oleh-oleh untuk Ibumu”.
Tiba-tiba Nisa dilandan kesibukan dan kepanikan luar
biasa. Seakan membayangkan mengunjungi Ibunya sendiri yang tak ditemuinya
selama 5 tahun.
Sebelum Nisa pergi, aku menatapnya sekali lagi, “kamu
yakin aku harus pulang, sa?” pertanyaanku hanya dibalas dengan senyum
hangat.
Ahhh.... andai Nisa tahu, perempuan macam apa Ibuku
itu, Beliau lebih keras dari karang, sa. Karang pun masih bisa terkikis air
laut, tetapi Ibuku?
******
Rumah mungil kami tak pernah berubah, saat masuk ke
dalam, kulihat ruangan tampak tidak serapi biasanya. Barang kali kehilangan
sentuhan tangan Ibu. Mbak Sri bilang, setahun belakangan ini Ibu sering jatuh
sakit. Akan tetapi Beliau tak mengizinkan mereka mengabarkan kepadaku.
(karena Ibu tak butuh kehadiranku, bisiku dalam
hati)
Mbak Ayu yang melihat kecangunganku menjelaskan. “Ibu
tak mau menggangu kuliahmu, pik!” aku tersenyum sinis mendengar perkataan
kakak tertuaku, sejak kapan Ibu memikirkan kuliahku? Bukankah baginya anak
perempuan Cuma akan ke dapur?
Mbak Mida yang lebih banyak diam pun menambahkan, “ibu
sering bertanya pada kami pik, berkali-kali malah. Sudah tahun ke berapa
kuliahmu? Berapa lama lagi selesai.”
Tapi, aku merasa tak perlu diyakini lagi. Aku kenal Ibu
dan selama menjadi anaknya tak pernah Ibu bersikap kasih padaku. Tidak sekali
pun, aku yakin perkataan kakak-kakakku barusan semata-mata untuk menyenangi
hatiku. Agar aku tak merasa sia-sia datang ke sini. Mereka pasti belum lupa
petengkaran hebatku dengan Ibu lima tahun yang lalu. Petengkaran yang
memantapkan hatiku untuk pergi.
Malam itu Ibu berkali-kali menumpahkan kalimat-kalimat
pedasnya padaku. Tujuannya satu agar aku tak pergi.
Bagiku, sikap Ibu saat itu egois dan kekanak-kanakan.
Sementara orang lain akan menyambut gembira berita berita keberhasilan anaknya
meraih beasiswa, beliau malah sebaliknya. Tak tahukah Ibu, aku harus
menyingkirkan ribuan orang untuk meraih prestasi ini.
Kucoba memulingkan telingga, tetapi kalimatnya tambah
pedas tak berangsur surut.
“pergi ke kota bagi perempuan macam kau pik, hanya
akan membawa aib, tak ada tempat aman kecuali di kampung sendiri. Ibu tak ingin
kau membuat malu keluarga”.
Astafirullah... ibu kira perempuan macam apa aku? Mulutku sudah setengah terbuka siap
membantahnya, tetapi ketiga saudaraku mencegahnya.
“jangan coba membantah! Kurang baik dan terpelajar
apa si mimi? Lalu si Irah? Bahkan anak pak haji Tarjo? Pulang-pulang malah jadi
perempuan jalang. Aku tak ingin punya anak jalang!.
Cukup! Aku tak bisa menahan kesabaranku. Darahku
semakin mendidih mendengar kalimat-kalimat Ibu. Kalau saja Ibu cukup
mengenalku, punya sedikit kepercayaan pada anaknya sendiri? Ibu Cuma percaya
pada dirinya sendiri.
Saat ditinggal Bapak, yahhh.. bapak memang meninggalkan
kami. Janjinya bahwa lelaki itu akan kembali dari kota dengan membawa perubahan
pada nasib kami, tapi Cuma omong kosong. Disana Bapak justru menikah lagi. Dan
Ibu yang merasa dirinya wanita paling sempurna, merasa sakit hati. Setelah itu
semua yang berbau pembaruan dan kemajuan dimusuhinya habis-habisan.
Kutatap mata Ibu dengan sikap menantang. Suaraku
bergetar saatt berkata-kata padanya.
“seharusnya Ibu bangga padaku!seharusnya Ibu
menyemangatiku. Bukan terus-terus mengejekku Buk! Sekarang Upik tahu mengapa
Bapak meninggalkan Ibu!” kataku berani
Didepanku Ibu menatap mataku tajam, matanya diliputi
kemarahan atas kelancanganku. “kenapa Bapak meningalkan Ibumu? Ayo jawab,
kenapa?!!!” tantangnya.
Sia-sia usaha mbakku untuk mengerem mulutku. Dalam
kemarahan, kulontarkan luka yang mungkin akan melekat selamnya di hati Ibu. “karena
Ibu PICIK!!! Itu sebabnya!”
Kubanting pintu kamarku, dan mengurung diri semalaman.
Menangis tapi batinku puas, telah kukatakan apa yang menurutku harus didengar
Ibu.
Besok paginya, hanya berpamitan pada mbak-mbakku, aku
pergi dengan bongkahan luka dihatiku, barangkali juga di hati Ibu, tapi aku tak
mau peduli.
Saat aku mengenal Nisa dan teman-teman Muslimah lain.
Baru kusesali sikapku, seharusnya aku tak bersikap sekasar itu pada Ibu. Meski
begitu, penyesalanku tak menghapus perasaan ku yang kadung hampa terhadap Ibu.
Aku masih tidak menyukai wanita yang melahirkanku itu.
******
“Pik... Ibu sudah bangun.” Mbak Sri
mengembalikanku dari kenangan masa lalu.
Kubuka pintu kamar Ibu, suara derit engsel yang
berkarat terdengar. Kulihat Ibu terbaring lemah di dipan. Keperkasaanya selama
ini nyaris tak tersisa. Tangan kurusnya mengajakku untuk mendekat.
Dibawah cahaya lampu teplok, kurayapi wajahnya yang
penuh guratan-guratan usia. Ibu tampak begitu Tua.
“apa kabarmu, pik?” suaranya nyaris berupa bisikan.
“baik, Bu” suaraku terdengar datar begitu datar mewakili kehampaan
perasaanku.
Ibu tak memandang kaget penampilanku, yang pasti
merupakan pemandangan baru baginya. Atau Ibu terlalu sakit untuk mencela busana
Muslimah yang kukenakan? Sekali lagi hatiku berkomentar sinis, tanpa bisa
dicegah.
“kamu kelihatan kurus,pik!!” ujar Ibu setelah beberapa saat kami
terdiam.
Aku tak menangapi, sebaliknya mataku mengintari ruangan
kecil itu. Semuanya hampir tak berubah. Kenapa Ibu bertahan dengan
keserdehanaan ini? Bukankah dengan ternak-ternak itu Ibu mampu hidup lebih
layak? Belum lagi ketigga mbakku mustahil mereka tidak memberikan tambahan
masukan, biar pun sedikit, untuk Ibu.
Aku memperhatikan ranjang Ibu. Kasur tipis diatas dipan
yang pasti tak nyaman untuknya. Cahaya penerangan pun tak memadai, padahal
dirumah ketigga saudaraku sudah diterangi cahaya listrik. Lalu..... uang
kirimanku yang rutin meski tak seberapa, mestinya cukup untuk meringankan Ibu,
Tapi kenapa?
Kulihat meja jati tua disamping Ibu. Ada beberapa botol
obat disana, kertas-kertas dan beberapa foto yang dibingkai. Kudekatkan tubuhku
untuk melihat lebih jelas. Mendadak mataku nanar..... masya Allah! Aku tak
sanggup berkata-kata segera kutahan tubuhku untuk tidak menangis.
Ibu yang menyadari arah pandanganku, menjelaskan,
“jangan salahkan mbak-mbak mu pik.. Foto-foto itu Ibu yang maksa minta. Kadang
ibu pandangi kalau ibu kangen kamu. Lihat itu pasti kamu masih tingkat satu,
ya? Belum pakai jilbab! Yang lainya sudah rapih berjilbab.
Kulihat Ibu tersenyum. Dimatanya ada kerinduan yang
mendalam. Batinku kembali terguncang. Ibu kangen padaku? Betulkah? Apa yang
membua Ibu begitu berubah? Usia tuanyakah? Waktu lima tahunkah? Hatiku terus
bertanya-tanya. Kemana larinya sikap keras dan ketus Ibu?..
“tolong Ibu pik,, Ibu ingin duduk di beranda”
pintanya sekonyong-konyong.
Kupapah tubuh ringkihnya keluar. Diatas sana langit
mulai gelap, beberapa bintang meramaikan rembulan yang mulai muncul. Langit
jingga tampak berbias indah menyambut malam.
Bersisian kami duduk diberanda. Beberapa waktu berlalu
dalam keheningan. Tanpa kata-kata, tapi bisa kulihat wajah Ibu tampak cerah
menatap langit yang dihias purnama. Lalu.....
“Yu... Ayu ....” tergopoh-gopoh mbakku muncul
mendengar pangilan Ibu. “ tolong ambilkan kotak kayu Ibu di bawah tempat
tidur, ya...”tak lama mbak Ayu telah muncul kembali. kotak kayu yang
terlihat amat tua diserahkanya pada Ibu.
“bukalah Pik, ini untukmu. Ibu selalu takut tak sempat
memberikanya langsung padamu, Ibu sudah tua, pik” suara Ibu. Sedangkan matanya
masih menatap langit.
Meski tak mengerti, kuturuti juga permintaan orang tua
itu. Dan tanpa bisa kucegah, mataku tebelalak melihat isinya. Uang! Di
mana-mana Uang! Begitu banyak, dari mana Ibu mendapatkanya?.
Ibu terkekeh sendiri melihat keterkejutanku, beberapa
giginya yang sudah ompong terlihat. “Ini untukmu, pik”
Aku tutup kembali kotak kayu itu, kuserahkan pada Ibu.
“Upik ndak butuh Uang Buk, beberapa tahun ini upik sudah ada kerja sambilan.
Jaga toko sambil nuli-nulis” ujarku berusaha menolak.
“Ibu tahu, Ibu baca surat yang kau kirimkan pada
mbak-mbakmu... tapi ini uangmu. Kau membutuhkanya. Mungkin tak lama lagi.” Suara Ibu memaksa.
“Ahh.... Wisudahku... itu kah yang Ibu pikirkan?” Wisudah
tak butuh biaya sebanyak ini Buk....” tolakku lagi.
“tapi kau harus menerimanya pik, ini uangmu, uang
yang kau kirimkan, sebagian juga ada hakmu dari penjualan ternak” jelas
wanita itu lagi.
Aku melongok. Teringat dipan tua yang kasurnya tipis,
lampu teplok, kursi diruang tamu yang sudah jelek dan bufet yang kusam.
Bukankah dengan uang itu Ibu bisa hidup layak?
“kenapa tak Ibu pakai untu keperluan Ibu? Tanyaku heran
Ibu hanya tersenyum. Matanya mencari-cari rembulan yang
setengah tertutup awan. “ Ibu tak butuh uang sebanyak itu, pik. Lagi pula
Ibu khawatir tak dapat lagi memberimu uang”.
“upik kan sudah jelaskan ke Ibu, Upik sudah bisa
mencari uang sendiri meski sedikit-sedikit. Ibu tak perlu repot memikirkan
aku.”ujarku keras
kepala.
Tapi lagi-lagi Ibu memaksaku” kau akan
membutuhkannya Pik, untuk pernikahanmu nanti. Lihat semua mbakmu hidup
sederhana. Anak mereka banyak, mungkin tak kan bisa banyak membantumu jika hari
itu tiba!”
Dek! Hatiku gemetar untuk pernikahanku? Sejauh itukah
Ibu memiirkanku?
Kata-kata Ibu berikutnya bagai telaga sejuk mengaliri
relung-relung hatiku.
“maafkan Ibu jika selama ini keras padanu... kau
benar... Ibu memang picik! Itu karena Ibu tak ingin kau terluka, kecewa, itu
sebabnya Ibu tak pernah memujimu. Kau harus punya hati sekeras baja untuk
menapaki hidup. Ibu ingin anak bungsu Ibu menjadi sosok yang berbeda, seperti
rembulan merah jambu, bukan kuning keemasan seperti yang biasa kita lihat.
Ibu menunjuk purnama yang benderang, aku mengikutu
telunjuknya. Batinku terasa lebih segar.
Rembulan merah jambu... itukah yang dinginkan Ibu,
menjadi seseorang, menjadi orang dalam arti sebenarnya. Punya karakter dan
prisip yang berbeda. Siap mengarungi kerasnya hidup? Itukah maksud Ibu dari
sikap kerasnya selama ini.
Hatiku berbunga-bunga. Semua kehampaan, kebencianku,
kekesalanku pada wanita tua itu tiba-tiba terbang ke awan. Aku tak lagi
membencinya, ternyata aku cukup punya arti di mata Ibu. Aku rembulam di mata
Ibu, aku rembulan dihatinya. Tanpa ragu , kupeluk Ibu erat.
Bersama-sama, kami menghabiskan waktu yang tak
terlupakan diberanda memandangi langit, dan.... rembulan kini menjadi merah
jambu dalam pandanganku.
0 komentar:
Posting Komentar