Selasa, 10 Mei 2011

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA



Daftar isi
           
Pendahuluan .............................................................................................................................  3
Rumusan Masalah ....................................................................................................................  3
Pembahasan
A.           Asal Usul pendidikan Islam Di Indonesia ......................................................................  4
B.            Perkembangan Sistem Pendidikan Islam ......................................................................... 5
1.        Perkembangan pendidikan di masjid ........................................................................ 5
2.        Perkembangan pendidikan pesantren ....................................................................... 6
3.        Perkembangan pendidikan madrasah ....................................................................... 8
4.        Perkembangan pendidikan perguruan tinggi ............................................................ 9
C.            Sistem Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Islam di Nusantara .............................. 12
D.           Sistem Pendidikan Islam Pada Masa Penjajahan (Sebelum Merdeka) ......................... 13
1.        Dimasa Belanda (1595-1942) ................................................................................. 13
2.        Dimasa Jepang (1942-1945) ................................................................................... 15
E.            Sistem Pendidikan Islam Pada Zaman Kemerdekaan ................................................... 16
Glosarium ................................................................................................................................ 18
Kesimpulan .............................................................................................................................. 19
Daftar pustaka .......................................................................................................................... 20

Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia
Pendahuluan
Untuk mengetahui sejarah perkembangan pendidikan Islam di suatu negara, khususnya Indonesia, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke tidak akan mungkin diketahui dalam waktu yang cukup singkat. Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sangat erat hubungannya dengan kedatangan Islam itu sendiri di Nusantara. Hal ini seiring dengan penyebaran Islam oleh karena itu ulama yang berasal dari daerah asing (Arab, Persia, India) telah melakuakn proses pendidikan secara sederhana atau tradisional.
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia pun mengalami kemajuan dari masa ke masa, akan tetapi kemajuan itu tidak akan didapat tanpa ada tekad dari Bangsa Indonesia sendiri. Sistem lembaga pendidikan yang pada awalnya dilaksanakan dimana saja dan kapan pun baik di surau, masjid kian hari kian merambat ke sistem pesantren yang dipelpori oleh para wali lalu ke sistem klasikal yang rnemang pada dasarnya belajar dari Bangsa penjajah.
Kedatangan bangsa barat memang telah membawa kemajuan teknologi. Tetapi tujuannya adalah untuk meningkatkan hasil penjajahannya, bukan untuk kemakmuran bangsa yang dijajah. Begitu pula dibidang pendidikan sehingga lahirnya beberapa organisasi Islam di Indonesia lebih banyak didorong oleh tumbuhnya sikap patriotisme dan rasa nasionalisme serta sebagai respon  terhadap pemerintah kolonial Belanda, dari berbagai perkembangan pendidikan inilah, sejarah pendidikan Islam tercatat sebagai sejarah yang panjang.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi penting bagi kita, adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.    Jelaskan asal usul awalnya pendidikan Islam di Indonesia?
2.    Bagaimana perkembangan sistem pendidikan Islam di Indonesia?
3.    Jelaskan sistem pendidikan Islam pada masa kerajaan Islam di Nusantara
4.    Jelaskan sistem pendidikan Islam pada masa penjajahan (sebelum merdeka)  dan setelah kemerdekaan Indonesia?
A.          Asal-Usul Pendidikan Islam di Indonesia
Berbicara tentang pendidikan Islam di Indonesia, sangatlah erat hubungannya dengan kedatangan Islam itu sendiri ke Indonesia. Dalam konteks ini, Mahmud Yunus mengatakan, bahwa sejarah pendidikan Islam sama tuanya dengan masuknya Islam ke Indonesia. Hal ini bisa kita beri alasan karena pemeluk agama Islam yang kala itu masih tergolong baru, maka sudah pasti akan mempelajari dan memahami tentang ajaran-ajaran Islam. Meski dalam pengertian sederhana, namun proses pembelajaran waktu itu otomatis telah terjadi. Dari sinilah kita dapat menyimpulkan mulai timbulnya pendidikan Islam di nusantara, dimana pada mulanya mereka belajar di langgar/surau, masjid dan kemudian berkembang menjadi pondok pesantren. Setelah itu baru timbul sistem madrasah dan perguruan tinggi yang teratur sebagaimana yang dikenal sekarang ini.
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat dipastikan pendidikan Islam itu telah berlangsung di Indonesia sejak mubaligh pertama melakukan kegiatannya dalam rangka menyampaikan keislaman baik dalam bentuk pentransferan pengetahuan, nilai, dan aktivitas maupun dalam pembentukan sikap atau suri tauladan. Maka dalam konteks pendidikan, para pedagang dan mubaligh yang memperkenalkan sekaligus mengajarkan Islam tersebut adalah pendidik, sebab mereka telah melaksanakan tugas-tugas kependidikan.
Dalam hal ini timbul pertanyaan, apa tolok ukur yang dijadikan bahwa kegiatan para pedagang atau mubaligh di dalam rangka menyampaikan ajaran Islam dapat digolongkan kepada aktivitas pendidikan. Untuk mencari makna dan hakikat pendidikan, maka perlu dicari ciri-ciri esensial aktivitas pendidikan, sehingga dapat dipilih mana aktivitas pendidikan dan mana yang bukan, untuk itu perlu dicari unsur dasar pendidikan.
Menurut Neong Muhadjir menjelaskan bahwa ada lima unsur dasar pendidikan, yaitu:
1)      Adanya unsur pemberi
2)      Adanya unsur penerima
3)      Adanya tujuan baik
4)      Cara atau jalan yang baik
5)      Konteks yang positif upaya pendidik
Unsur 1 dan 2 baru bermakna pendidikan Islam kalau dibarengi dengan unsur 3, yaitu adanya tujuan baik. Jika hanya hubungan pemberi dan penerima saja yang ada ini belum dapat dikatakan aktivitas pendidikan, tanpa dibarengi dengan tujuan baik, sebab hubungan antara penjual dan pembeli, majikan dan buruh, juga ada hubungan antara pemberi dan penerima dan hubungan yang seperti ini belum dikatakan aktivitas pendidikan Islam. Unsur 4 terkait akan nilai. Selanjutnya unsur 5 adalah menumbuhkan konteks positif dengan menjauhi konteks negatif.
Dengan dijelaskannya kelima unsur dasar pendidikan di atas akan dapat dijadikan acuan tentang aktivitas pedagang dan mubaligh tersebut apakah dapat digolongkan sebagai sebuah aktivitas pendidikan Islam atau bukan. Maka jika kita hubung-hubungkan akan ditemukan sebuah kesimpulan bahwa para pedagang dan mubaligh ketika memperkenalkan dan mengajarkan ajaran Islam kepada masyarakat sudah memenuhi unsur pendidikan tersebut. Dengan demikian, pendidikan Islam di Indonesia telah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia dan dengan demikian pula pendidikan Islam telah memainkan peranannya dalam pembentukan masyarakat Indonesia.

B.          Perkembangan Sistem Pendidikan Islam
a)   Perkembangan Pendidikan di Masjid
Secara harfiah mesjid diartikan sebagai tempat duduk atau setiap tempat yang dipergunakan untuk beribadah. Mesjid memegang peranan penting dalam penyelenggaraan pendidikan Islam, bahkan sistem pendidikan di langgar atau surau ini dianggap lembaga pendidikan Islam tertua, sebelum adanya pesantren.
Pada masa kerajaan Islam, para sultan memberikan dukungan yang sangat besar terhadap pengembangan masjid sebagai pusat pendidikan. Di Jawa, Sultan Demak memerintahkan pembangunan masjid agung yang menjadi pusat keilmuan kerajaan di Bintara, kemudian dukungan kepada para wali yang bertanggung jawab terhadap kehidupan agama Islam di Demak dengan pusat kegiatannya di Masjid Agung Demak. Dari masjid itulah para wali merencanakan, mendiskusikan dan membahas perkembangan Islam di Jawa dan pada akhirnya mereka berhasil mengislamkan Pulau Jawa. Di Kutai, Sultan mendirikan masjid yang dijadikan sebagai tempat terhormat untuk menjadi tempat pendidikan dari kalangan bawah sampai atas, termasuk dari kalangan keluarganya sendiri. Sementara di Aceh, masjid dibangun dengan megah dan dijadikan tempat mendidik masyarakat kesultananan Aceh.[1] Dalam perkembangan selanjutnya, masjid sebagai pusat pendidikan dan pengajaran secara informal maupun nonformal ini ternyata memberikan hasil yang cukup gemilang, yakni tersebarnya ajaran Islam keseluruh pelosok tanah air.
Ada beberapa hal yang bisa diperhatikan dalam sistem pendidikan Islam di masjid, yaitu:
1)             Tenaga pendidik, mereka adalah orang-orang yang tidak meminta imbalan jasa, tidak ada spesifikasi khusus dalam keahlian mengajar, mendidik bukan pekerjaan utama, dan tidak diangkat oleh siapapun.
2)             Mata pelajaran yang diajarkan terutama ilmu-ilmu yang bersumber kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, namun dalam perkembangan berikutnya ada bidang kajian lain, seperti: tafsir, fikih, kalam, bahasa Arab, sastra maupun yang lainnya.[2]
3)             Siswa atau peserta didik, mereka adalah orang-orang yang ingin mempelajari Islam , tidak dibatasi oleh usia, dari segala kalangan dan tidak ada perbedaaan.
4)             Sistem pengajaran yang dilakukan memakai sistem halaqah.
5)             Metode pengajaran yang diterapkan memakai 2 metode, yakni metode bandongan dan metode sorogan. [3]
6)             Mengenai waktu pendidikan, tidak ada waktu khusus dalam proses pendidikan di masjid, hanya biasanya banyak dilakukan di sore atau malam hari. karena biasanya waktu tersebut tidak mengganggu kegiatan sehari-hari yang disibukan dengan kegiatan perdagangan dan mereka mempunyai waktu yang cukup luang.
b)   Perkembangan Pendidikan Pesantren
Bertitik tolak dari akar sejarah pesantren atau sebut saja asal-usul pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa . Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia.
Secara umum pesantren dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yakni pesantren salaf (tradisional) dan pesantren khalaf (modern). Sebuah pesantren disebut pesantren salaf jika dalam kegiatan pendidikannya semata-mata berdasarkan pada pola-pola pengajaran klasik/lama, yakni berupa pengajian kitab kuning dengan metode pembelajaran tradisional serta belum dikombinasikan dengan pola pendidikan modern. Sedangkan pesantren khalaf (modern) adalah pesantren yang disamping tetap dilestarikannya unsur-unsur utama pesantren, memasukkan juga ke dalamnya unsur-unsur modern yang ditandai dengan sistem klasikal. [4]
Kondisi ini menunjukkan bahwa pesantren telah merubah dirinya menjadi sebuah lembaga pendidikan Islam modern, bukan tradisional lagi. Modern disini dalam arti modern dalam bidang fisik, seperti dalam hal sistem dan metode, kurikulum dan perangkat fisik lain yang digunakan untuk menunjang berlangsungnya sebuah aktifitas pendidikan dan pengajaran berbagai sifat dasar yang dimiliki oleh pondok pesantren
Dalam sistem dan kultur pesantren dilakukan perubahan yang cukup drastis :[5]
1)             Perubahan sistem pengajaran dari perseorangan atau sorogan menjadi sistem klasikal yang kemudian dikenal dengan istilah madrasah (sekolah).
2)             Pemberian pengetahuan umum disamping masih mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa Arab.
3)             Bertambahnya komponen pendidikan pondok pesantren, misalnya ketrampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat sekitar, kepramukaan untuk melatih kedisiplinan dan pendidikan agama, kesehatan dan olahraga serta kesenian yang Islami.
4)             Lulusan pondok pesantren diberikan syahadah (ijazah) sebagai tanda tamat dari pesantren tersebut dan ada sebagian syahadah tertentu yang nilainya sama dengan ijazah negeri.
5)             Lembaga pendidikan tipe universitas sudah mulai didirikan di kalangan pesantren.
Modernisasi dalam pendidikan Islam merupakan pembaharuan yang terjadi dalam pondok pesantren, setidak-tidaknya dapat menghapus image sebagian masyarakat yang menganggap bahwa pondok pesantren hanyalah sebagai lembaga pendidikan tradisional, tempat pembuangan anak-anak nakal yang kurang akan didikan agama. Kini pesantren disamping berkeinginan mencetak para ulama juga bercita-cita melahirkan para ilmuwan sejati yang mampu mengayomi umat dan memajukan bangsa dan negara.
c)    Perkembangan Pendidikan Madrasah
Perkembangan dari pesantren ke madrasah muncul pada awal abad 20, sebagai akibat dari kurang puas terhadap sistem pesantren (waktu itu) yang dianggap sempit  dan terbatas pada pengajaran ilmu fardlu ’ain (Mas’ud Abdurrahman, 2002: 241). Terdapat dua hal yang melatar belakangi tumbuhnya sistem madrasah di Indonesia, pertama adalah faktor pembaharuan Islam dan kedua  respon terhadap politik pendidikan Hindia Belanda. [6]Kemunculan dan perkembangan madrasah tidak bisa dilepaskan dari gerakan pembaharuan Islam dan kemudian dikembangkan oleh organisasi-organisasi Islam. Oleh karena itu pendidikan dipandang sebagai aspek strategis  dalam membentuk pandangan keislaman masyarakat.
Jadi begitulah perpaduan antara sistem pada pondok pesantren atau pendidikan langgar , mesjid dengan sistem yang berlaku pada sekolah-sekolah modern, merupakan sistem pendidikan dan pengajaran yang dipergunakan di madrasah. Proses perpaduan tersebut berlangsung secara berangsur-angsur, mulai dan selanjutnya mengubah sisttem halaqoh ke sistem klasikal, mengadopsi sistem sekolah-sekolah pemerintah kolonial Belanda.
Dikarenakan pengaruh dari ide-ide pembaharuan yang berkembang di dunia Islam dan kebangkitan nasional bangsa Indonesia, sedikit demi sedikit pelajaran umum masuk ke dalam kurikulum madrasah. Buku-buku pelajaran agama mulai disusun khusus sesuai dengan tingkatan madrasah, sebagaimana halnya dengan buku-buku pengetahuan umum yang berlaku di sekolah-sekolah umum.[7] Bahkan kemudian lahirlah madrasah-madrasah yang mengikuti sistem perjenjangan dan bentuk-bentuk sekolah modern, seperti Madrasah Ibtidaiyah sama dengan Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah sama dengan Sekolah Menengah Pertama, dan Madrasah Aliyah sama dengan Sekolah Menengah Atas. Perkembangan berikutnya, pengadaptasian tersebut demikian terpadunya, sehingga boleh dikatakan hampir kabur perbedaannya, kecuali pada kurikulum dan nama madrasah yang diembeli dengan Islam. Kurikulum madrasah dan sekolah-sekolah agama, masih mempertahankan agama sebagai mata pelajaran pokok.
d)   Perkembangan Pendidikan Perguruan Tinggi
Pemerintah Indonesia memberikan perhatian yang besar kepada dunia pendidikan, terutama setelah Indonesia merdeka. Hal ini dibuktikan dengan upaya peningkatan kualitas dan kuantitas lembaga pendidikan sampai ke pelosok negeri. Pendidikan Islam juga tidak terlepas dari perhatian pemerintah tersebut yaitu dengan mendirikan dan memberikan bantuan kepada madrasah-madrasah dan pesantren-pesantren, sehingga lembaga-lembaga tersebut dapat melaksanakan pendidikan dan pengajaran kepada peserta didik dengan baik.
Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pendidik yang besar dan terampil, sesuai dengan semangat mamajukan pendidikan di Indonesia, maka di dirikanlah perguruan-perguruan tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan guru agama Islam, pada tahun 1950 Departemen Agama telah mendirikan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI). Lulusan sekolah ini dipersiapkan sebagai guru agama di sekolah dasar baik sekolah umum maupun sekolah dasar Islam. Sedangkan untuk memenuhi guru-guru agama Islam di sekolah menengah Departemen Agama mendirikan Sekolah Guru dan Hakim Agama (SGHA). Tamatan sekolah ini juga untuk memenuhi tenaga pengajar di sekolah dan sebagai hakim di pengadilan agama. Umat Islam telah memberikan perhatian yang besar kepada pendidikan tinggi yang berbasiskan Islam dengan tujuan untuk memperdalam dan memahami ajaran Islam. Sebelum Indonesia merdeka, keinginan untuk mempunyai perguruan tinggi telah diwujudkan dengan mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) di Minangkabau yang didirikan oleh Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di Padang. Sekolah Tinggi Islam ini merupakan perguruan tinggi Islam pertama di Indonesia yang didirikan pada tahun 1940. Namun Sekolah Tinggi Islam ini hanya berjalan dua tahun, kedatangan Jepang di Padang telah memaksa Sekolah ini tutup, sedangkan Jepang hanya mengizinkan pendidikan Islam di tingkat Madrasah atau sekolah dasar dan menengah. Sedangkan di Jawa, umat Islam juga menginginkan adanya perguruan tinggi Islam. Gagasan mendirikan Sekolah Tinggi Islam telah muncul pada tahun 1938 oleh Dr. Satiman melalui majalah PM No. 15. Kemudian ide tersebut diusung oleh majalah AID No. 128 tertanggal 12 Mei 1938 dengan menyiarkan bahwa telah diadakan musyawarah antara tiga badan pendiri Sekolah Tinggi di Jakarta, Solo dan Surabaya. Akibat penjajahan Jepang gagasan ini juga tidak dapat direalisasikan. Baru pada tahun 1945 STI dapat didirikan atas inisiatif beberapa pemimpin Islam yang tergabung dalam satu yayasan yang diketuai oleh Muhammad Hatta dan sekretarisnya Muhammad Natsir. Sedangkan STI tersebut diketuai oleh K.H. Kahar Muzakkir. Ketika terjadi perang kemerdekaan STI dipindahkan ke Yogyakarta tepatnya pada tanggal 22 Maret 1945. Namun tiga tahun berikutnya tepatnya pada tanggal 22 Maret 1948 STI di Yogyakarta ini berubah bentuk menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Melalui peraturan pemerintah No. 34 tahun 1950 yang ditanda tangani oleh Presiden Republik Indonesia, tertanggal 14 Agustus 1950 Fakultas Agama UII menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang bertujuan memberikan pengajaran tinggi dan menjadi pusat kegiatan dalam mengembangkan serta memperdalam ilmu pengetahuan Agama Islam, dan berstatus negeri yang dibawah naungan Departemen Agama. [8]
Perkembangan selanjutnya, dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga ahli pendidikan agama dan urusan agama dilingkungan Departemen Agama, didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta. Pada tanggal 9 Mei 1960 Departemen Agama Menggabungkan PTAIN dan ADIA, kemudian menerbitkan Peraturan Presiden No. 11 Tahun 1960 yang melebur PTAIN Yogyakarta dan ADIA Jakarta menjadi “Al-Jami’ah Islamiyah Al-Hukumiyah” atau “Institut Agama Islam Negeri (IAIN)” yang berkedudukan di Yogyakarta  dan Jakarta sebagai cabangnya. [9]
Di daerah-daerah dibuka fakultas-fakultas sebagai cabang dari IAIN induk. Banyak IAIN di daerah-daerah sedang jarak dan luasnya wilayah antar daerah menimbulkan kesulitan dalam pengaturannya. Akhirnya, pada tahun 1963, Departemen Agama menganggap perlu untuk memisahkan IAIN menjadi dua institut berbeda yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu IAIN Yogyakarta dengan Rektor Prof. R.H. Sunaryo dan IAIN Jakarta dengan Rektor Prof. H. Soenardjo. Untuk mempermudah pengawasan dan pengorganisasiannya, dikeluarkan pembagian wilayah sebagai berikut : a. IAIN Yogyakarta mengkoordinir fakultas-fakultas yang berada di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, Banjarmasin, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan daerah Indonesia Timur. b. IAIN Jakarta mengkoordinir fakultas-fakultas yang terdapat di Jakarta, Jawa Barat, kalimantan Barat dan Sumatera. Disamping itu juga dinyatakan bahwa sekurang-kurangnya tiga jenis fakultas dengan Keputusan Menteri Agama dapat digabung menjadi satu IAIN. Sehingga sampai tahun 1972 jumlah IAIN berkembang menjadi 14 buah dan 104 fakultas di seluruh Indonesia
Sesuai dengan Keputusan Presiden RI. No. 11 tahun 1997, tertanggal 21 Maret 1997, tentang pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) yaitu dengan alasan peningkatan efisiensi, efektifitas dan kualitas pendidikan di IAIN, dilakukan penataan terhadap fakultas-fakultas di lingkungan IAIN yang berlokasi di luar induk. Maka, sejak tanggal 1 Juli 1997 diresmikan berdirinya STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) sejumlah 33 buah di seluruh Indonesia. STAIN ini adalah berasal dari fakultas-fakultas IAIN yang ada didaerah-daerah yang terpisah lokasinya dari IAIN induknya. STAIN ini berdiri untuk menyahuti peraturan juridist yang berkenaan dengan pendidikan tinggi serta untuk lebih menyahuti perkembangan zaman. STAIN yang berdiri tersebut antara lain : 1. STAIN Ponorogo 2. STAIN Jember 3. STAIN Kediri 4. STAIN Malang 5. STAIN Pamekasan 6. STAIN Mataram 7. STAIN Tulungagung 8. STAIN Salatiga 9. STAIN Gorontalo 10. STAIN Palopo 11. STAIN Serang Jawa Barat 12. STAIN Ternate 13. STAIN Bengkulu 14. STAIN Surakarta 15. STAIN Batu Sangkar Sumatera Barat. STAIN Malang berubah nama menjadi Universitas Islam Indonesia Sudan (UIIS), kemudian berubah lagi menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang sampai sekarang. Sedangkan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta berubah menjadi Universitan Islam Negeri (UIN) Jakarta. [10]
Meskipun pertumbuhan Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTAIN) yaitu IAIN, UIN dan STAIN berkembang semakin pesat, perguruan tinggi swasta pun tumbuh subur di Indonesia. Umat Islam optimis mendirikan Perguruan tinggi Islam swasta dan tidak menjadikan perkembangan perguruan tinggi Islam negeri di daerah-daerah yang berkembang pesat sebagai hambatan. Yakni UM (Universitas Muhammadiyah), dan UNISBA (Universitas Islam Bandung), dan UNISMA (Universitas Islam Malang), serta USU (Universitas Islam Sumatera Utara). Universitas tersebut diatas memiliki fakultas agama yang berada dalam naungan dan tanggung jawab Direktorat Perguruan Tinggi Agama (PTA), kemudian dilimpahkan kepada IAIN setelah terbentuk KOPERTAIS (Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta) yang diketuai oleh Rektor IAIN di wilayah masing-masing.
Dalam perjalanan panjang selama ini IAIN dan Perguruan Tinggi Islam Swasta lainnya di Indonesia ini telah banyak menghasilkan lulusan dan sarjananya. Dengan demikian kiprah para alumninya telah tersebar luas di masyarakat, mereka berada di semua lini kehidupan masyarakat yang tentunya adalah untuk membangun agama, bangsa dan negara demi tercapainya kehidupan yang lebih baik.
C.          Sistem Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan Islam di Nusantara
Dalam hubungannya dengan pengembangan pendidikan Islam di Indonesia, sejak awal penyebaran Islam, masjid telah memegang peranan yang cukup besar. Kedatangan orang-orang Islam ke Indonesia yang pada umumnya berprofesi sebagai pedagang, mereka hidup berkelompok dalam beberapa tempat, yang kemudian tempat-tempat yang mereka tempati tersebut menjadi pusat-pusat perdagangan. Di sekitar pusat-pusat dagang itulah, mereka biasanya membangun sebuah tempat sederhana (masjid), dimana mereka bisa melakukan shalat dan kegiatan lainnya sehari-hari. Memang tampaknya tidak hanya kegiatan perdagangan yang menarik bagi penduduk setempat. Kegiatan para pedagang muslim selepas dagangpun menarik perhatian masyarakat. Maka sejak itulah pengenalan Islam secara sistematis dan berlangsung di banyak tempat terutama di masjid.
Pada masa itu, penyiaran Islam dilaksanakan dimana saja mereka berada, dipinggir kali sambil menanti perahu pengagkut barang, di padang rumput tempat gembala ternak, di pasar-pasar tempat berjual beli, dan di mesjid yang merupakan tempat paling efektif bertemunya antara ulama dengan masyarakat umum. Maka tak heran bila akhirnya masjid selain untuk kegiatan ibadah, juga difungsi sebagai pusat kegiatan pendidikan. Dari berbagai tempat dan masjid inilah generasi muda muslim dididik dan digembleng, merekalah yang nantinya membuka jalan baru dalam membentuk masyarakat muslim di Indonesia dan menyebar sampai seluruh pelosok tanah air hingga terbentuknya kerajaan Islam di Indonesia.
Komponen-komponen pendidikan dalam sistem pendidikan yang berlaku pada masa kerajaan Islam tidak jauh berbeda dengan komponen-komponen pendidikan yang ada pada masa sekarang ini. Adapun komponen-komponen yang disebutkan sebagai berikut;
KOMPONEN SISTEM PENDIDIKAN ISLAM
Masa
Pendidik
Peserta
Materi
Biaya
Tempat
Waktu Belajar
Pasai
Orang asing/Saudagar merangkap da’i dan Sultan
Tidak terbatas baik usia dan status sosial
Syahadat, ilmu al-Qur’an dan al-Sunnah serta akhlak

Tidak meminta imbalan akan tetapi secara suka rela masyarakat tetap memberi hadia
Dimana saja, dan berpusat di mesjid
Tidak mengikat namun secara khusus waktu belajar dilaksanakan pada bada sholat jum’at, bada Ashar dan bada maghrib/ Isya
Demak
Orang asing, Da’i, Walisongo,
Tidak terbatas baik usia dan status sosial
Ajaran-ajaran Islam, pemerintahan dan kemeliteran
Tidak meminta imbalan
Dimana saja, dan berpusat di mesjid serta pesantren
Tidak mengikat namun ada waktu khusus, untuk pesantren waktu terjadwal.
Pajang
Da’i dan wali/ guru
Tidak terbatas
Ajaran-ajaran Islam dan persoalan masyarakat
Tidak meminta imbalan
Mesjid serta pesantren
Tidak mengikat, untuk pesantren waktu terjadwal
Banten
Ulama/ da’i dan wali
Tidak terbatas
Ajaran-ajaran Islam, dan pengetahuan umum
Sudah diterapkan sistem biaya
Pesantren dan sistem belajar berkelas (madrasah)
waktu terjadwal.

Banjar
Saudagar merangkap da’i dan para santri
Mulanya hanya rakyat biasa, tapi berlanjut pada jajaran kerajaan
Ajaran-ajaran Islam
Bersama-sama mengelolah tanah menjadi produktif untuk kelangsungan sistem pendidikan
“Dalam Pagar”  pengajian-pengajian di perkampungan
Tidak mengikat

D.          Sistem Pendidikan Islam Pada Masa Penjajahan (sebelum merdeka)
a)      Dimasa Belanda (1595-1942)
Pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia. Dan pada masa penjajahan di tanggan VOC, tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya.
Pada akhir abad ke-18, setelah VOC mengalami kebangkrutan, kekuasaan Hindia Belanda akhirnya diserahkan kepada pemerintah kerajaan Belanda langsung. Pada masa ini, terhadap pendidikan Islam, Belanda cenderung menghambat dan menghalangi, seperti pemerintah Belanda dapat membubarkan sekolah-sekolah yang tidak mempunyai izin ataupun yang tidak disukai yang disebut Wilde School (sekolah liar) dan juga melarang para wali/ guru, kiyai/ da’i yang tidak mempunyai izin berdakwah.[11]
Hal ini Belanda lakukan karena mereka menganggap aktivitas pendidikan Islam merupakan faktor yang akan mengancam keberlangsungan koloni. Belanda tidak haya datang untuk berdagang mencari rempah-rempah, akan tetapi juga menyebarkan misi kristen sekaligus juga ingin menguasai bumi nusantara. Motivasi ini sering disebut dengan istilah “3G” (Gold, Gospel, Glori)
Sikap hambatan dan tantangan dari Belanda tidak menyurutkan perjuangan umat Islam, malahan semakin memperkuat tekat Umat sehingga kemajuan Islam dalam pendidikannya tidak dapat dibendung, adapun tindak lanjutnya adalah sebagai berikut; [12]
1)             Umat Islam melakukan respon devensif dan respon progesif
2)             Corak responsi umat Islam juga bersifat progesif yang memandang Belanda bersikap diskriminatif
3)             Mendirikan sekolah-sekolah Islam (madrasah) yang menerapkan sistem pendidikan Belanda dan demikian juga dengan pesantren, mulai menerapkan sistem berkelas (sekolah/ madrasah)
Madrasah-madrasah yang bermunculan di Sumatera antara lain :Madrasah Adabiyah di Padang Sumatra Barat yang didirikan oleh Syeikh Abdullah Ahmad pada tahun 1909 M. Madrasah ini berubah menjadi HIS Adabiyah pada tahun 1915 M. Pada tahun 1910 M didirikan Madrasah School di daerah Batu Sangkar Sumatera Barat oleh Sykh M. Taib Umar, pada tahun 1918 M  Mahmud Yunus mendirikan Diniyah School labai al-Yunusia sebagai lanjutan Madrasah School, tahun 1918 M Madrasah Muhammadiyah di yogyakarta, Madrasah Amiriah Islamiah di sulawesi didirikan oleh Amiria. Adapun pondok pesantren (surau) yang pertama kali membuka madrasah formal ialah Tawalib di Padang Panjang pada tahun 1921 M di bawah pimpinan Syekh Abd. Karim Amrullah ayah Hamka.
Lahirnya beberapa organisasi Islam di Indonesia sebagai sikap patriotisme dan rasa nasionalisme serta sebagai respon  terhadap eksploitasi politik pemerintah kolonial Belanda. Organisasi-organisasi yang berdasarkan sosial keagamaan yang banyak melakukan aktivitas kependidikan Islam, yakni
1)             Persyerikatan Ulama
Merupakan perwujudan dari gerakan pembaharuan di daerah Majalengka, Jawa Barat yang dimulai pada tahun 1911 atas inisiatif KH. Abdul Halim. Pada tahun 1924 persyerikatan ulama secara resmi meluaskan daerah operasinya ke seluruh Jawa dan Madura, dan pada tahun 1937 meluas keseluruh Indonesia. Organisasi ini tidak hanya bergerak di bidang pendidikan, tetapi juga bergerak di bidang sosial yaitu dengan dibukanya rumah anak yatim.
2)             Muhammadiyah
Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 Nopember 1912 bertepatan dengan tanggal 18 Dzulhijah 1330H, oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo.
3)             Nahdhatul Ulama
Didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344H atau 23 Januari 1926 M di Surabaya. Atas inisiatif K.H. Hasyim asy’ari, pendirinya adalah alim ulama dari tiap-tiap daerah di Jawa Timur.
4)             Persatuan Islam
Persis didirikan secara resmi pada tanggal 12 September 1923 di Bandung, oleh sekelompok orang yang berminat dalam studi dan aktivitas keagamaan yang dipimpin oleh Zamzam dan Muhammad Yunus.
b)     Dimasa Jepang (1942-1945)
Terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain: [13]
1)             Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan Bahasa Belanda.
2)             Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda.
3)             Kantor urusan agama pada zaman Belanda, yakni Kantoor Voor Islamistische Zaken yang dipimpin kaum orientalis Belanda, diubah oleh Jepang menjadi kantor Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari.
4)             Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan pemerintah Jepang
5)             Sekolah/ madrasah diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama Islam
6)             Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin.
7)             Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir dan Bung Hatta.
8)             Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan
9)             Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.
Dengan melihat hal diatas, kita dapat menafsirkan bahwa kepercayaan Jepang ini dimanfaatkan juga oleh umat Islam untuk bangkit memberontak melawan Jepang sendiri. Kalau ditinjau dari segi pendidikan zaman Jepang umat Islam mempunya kesempatan yang banyak untuk memajukan pendidikan Islam, sehingga tanpa disadari oleh Jepang sendiri bahwa umat Islam sudah cukup mempunyai potensi untuk maju dalam bidang pendidikan ataupun perlawanan kepada penjajah.

E.          Sistem Pendidikan Islam Pada Zaman Kemerdekaan
Pendidikan agama Islam untuk sekolah umum mulai diatur secara resmi oleh pemerintah pada bulan Desember 1946. sebelum itu pendidikan Agama sebagai pengganti pendidikan budi pekerti yang sudah ada sejak zaman Jepang, berjalan sendiri-sendiri di masing-masing daerah.
Pada bulan Desember 1946 dikeluarkan peraturan bersama dua Menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa Pendidikan Agama diberikan mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat = SD) sampai kelas VI. Pada masa itu keadaan keamanan di Indonesia belum mantap sehingga SKB (surat keputusan bersama) dua Menteri tersebut belum dapat berjalan dengan semestinya. Daerah-daerah diluar Jawa masih banyak yang memberikan pendidikan Agama mulai dari kelas 1 SR.
Pemerintah membentuk majelis pertimbangan pengajaran agama Islam pada tahun 1947, yang di pimpin oleh Kihajar Dewantara dari Departemen P dan K dan Prof. Drs. Abdullah Sigit dari Departemen Agama. Tugasnya untuk mengatur pelaksanaan dan materi pengajaran agama yang diberikan sekolah umum.
Berdasarkan tekad dan semangat tersebut maka kehidupan beragama dan pendidikan agama khususnya makin memperoleh tempat yang kokoh dalam struktur organisasi pemerintahan dan dalam masyarakat pada umumnya. Dalam siding-sidang MPR yang menyusun GBHN pada tahun 1973-1978 dan 1983 yang menegaskan bahwa pendidikan Agama menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah Negeri dalam semua tingkat (Jenjang) pendidikan.
Lembaga Pendidikan Islam sesudah Indonesia Merdeka
1)      Madrasah Ibtidaiyah Negeri (Tingkat Dasar)
2)      Madrasah Tsawiyah Negeri (Tingkat Menengah Pertama)
3)      Madrasah Aliyah Negeri (tingkat Menengah Atas). Dahulunya berupa Sekolah Guru dan Hakim Agama (SGHA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN)
4)      Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang kemudian berubah menjadi IAIN (Institut Agama Islam Negeri)






Glosarium

Halaqah : Merupakan metode dimana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya.
Metode Bandongan : Merupakan metode dimana seorang guru membacakan dan menjelaskan isi sebuah kitab, dikerumuni oleh sejumlah murid yang masing-masing memegang kitab yang serupa, mendengarkan dan mencatat keterangan yang diberikan gurunya berkenaan dengan bahasan yang ada dalam kitab tersebut pada lembaran kitab atau pada kertas catatan yang lain.
Metode Sorogan : Merupakan metode dimana santri menyodorkan sebuah kitab dihadapan gurunya, kemudian guru memberikan tuntunan bagaimana cara membacanya, menghafalkannya, dan pada jenjang berikutnya bagaimana menterjemahkan serta menafsirkannya.
VOC : (Vereenigde Oost-indische Compagnie). Merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang milik Belanda.
3G; (Gold, Gospel, Glory) : Motivasi Belanda di Nusantara 3G yakni gold (emas) berkaitan dengan ekonomi, gospel (injil, kitab suci) berkaitan dengan misi penyebaran agama kristiani, glory (kejayaan) berkaitan dengan kekuasaan.
Respon Devensif : Respon yang menghindari sejauh mungkin pengaruh Belanda terhadap sistem pendidikan Islam, yakni seperti mengambil lokasi pesantren di daerah terpencil.
Respon Progesif : Respon yang dilakukan dengan cara nonkooperatif dengan Belanda yakni sikap anti kolonial.



Kesimpulan
Dari pembahasan diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sejarah pendidikan Islam di Indonesia telah berawal dari masuknya Islam di Indonesia oleh para ulama pedagang Arab, Gujarat, Persia dan India, pada perkembangannya mengalami kepesatan dari yang hanya di mesjid sampai pada sistem pendidikan Islam di pesantren, madrasah hingga perguruan tinggi.
Secara garis besarnya sejarah pendidikan Islam di Indonesia terbagi dalam beberapa masa yakni Pendidikan Islam di masa kerajaan Islam di Indonesia, di masa ini pendidikan Islam di perankan atau di dukung oleh para da’i, ulama, wali, santri dan raja atau sultan
Pendidikan Islam di masa penjajahan. Pada masa ini Pendidikan Islam mendapatkan tekanan yang cukup berat dari pemerintah kolonial Belanda. Walaupun mendapatkan tekanan yang cukup berat dari pemerintah kolonial Belanda, masyarakat Islam di Indonesia pada masa itu laksana air hujan atau air bah yang sulit dibendung. Para ulama bersikap non cooperative dengan Belanda. Sedangkan pada masa penjajahan Jepang, mendapat dukungan, kepercayaan Jepang ini dimanfaatkan juga oleh umat Islam untuk bangkit memberontak melawan jepang sendiri.
Pendidikan Islam di masa kemerdekaan, Pada tahun 1950 kedaulatan Indonesia telah pulih untuk seluruh Indonesia. Maka rencana Pendidikan Agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan. Berdasarkan tekad dan semangat tersebut maka kehidupan beragama dan pendidikan agama khususnya makin memperoleh tempat yang kokoh dalam struktur organisasi pemerintahan dan dalam masyarakat pada umumnya. Hal ini terbukti dengan disahkannya Pendidikan Agama Menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri dalam semua tingkat pendidikan.





Daftar Pustaka
Ali . Al-Jumbulati Abdul, , 1993, Perbandingan Pendidikan Islam, Jakarta; RINEKA CIPTA
Hasbullah, 1995, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta; Rajawali Grafindo Persada
Karer A. Steenbrink, 1994, Pesantren Madrasah Sekolah, Yogyakarta; LP3ES
Suwito dan Fauzan (editor), 2004, Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara, Bandung: ANGKASA





[1] Karer A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, (Yogyakarta; LP3ES, 1994), hlm 96
[2] Ali Al-Jumbulati Abdul, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta; RINEKA CIPTA, 1993), hlm 27
[3] Karer A. Steenbrink Abdul, Op Cit; Hlm 98
[5] Karer A. Steenbrink, Op Cit; hlm 104
[6]  Hasbullah, Drs. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta; Rajawali Grafindo Persada, 1995) hlm 21
[7] Ibid
[8] Suwito dan Fauzan (editor), Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara. (Bandung: ANGKASA, 2004). Hlm 252-253
[9] Ibid;
[10] Ibid; hlm 254
[11] Suwito dan Fauzan (editor). Ibid; Hlm 161
[12] Ibid. Hlm 168-170
[13] Ibid. Hlm 173-174